HARUSKAH KITA SALING MELUPAKAN?
Haruskah kita saling melupakan?
Harus! Kata itu yang pertama terpekik di
pikiranku. Setelah sekian pelukan kita tak
berbuah apa-apa selain kosong hampa.
Setelah genggaman jemari kita yang melekat
erat pada sekian janji yang terucap hanya
menancapkan manis di ujung kecupan.
Haruskah kita saling melupakan?
Mungkin, ini yang terbaik dari sekian pilihan
yang ada. Setelah kemungkinan bertarung
sengit dengan penantian dan kepastian.
Kemungkinan untuk kita bersama yang jauh
dari kata mungkin itu sendiri. Kemungkinan
yang mengingkari kehadirannya untuk terus
(mungkin) ada dan bersama. Kemungkinan
yang berujung pada ketidakmungkinan, tak
berujung dan tiada dalam perjalanannya.
Saling melepaskan, jalan yang kita punya.
Terbentang di
hadapan kita sebagai hening yang paling senyap
dan kerelaan
untuk pergi tanpa syarat. Melepaskan ikatan
ruas demi ruas,
dan melenggang tanpa menengok kebelakang lagi.
Itu saja dulu! Kita sepakat saling melepaskan
genggaman
tanpa syarat. Tak peduli kita pernah seia di
bawah janji dan
sumpah setia untuk bersama. Bukan apa-apa,
kemungkinan
untuk bersama terlalu jauh untuk direngkuh dan
hanya akan
meninggalkan sayatan luka mendalam jika
diteruskan.
Kita sepakat dan sama-sama sadar untuk
melepaskan, dan
seiring dengan waktu, kita saling meupakan,
tanpa syarat.
Inilah kemungkinan yang ada, dan paling
realistis yang kita
punya.
Haruskah kita saling melupakan?
Kepada hujan kutitipkan pelukan kita yang
bersebrangan,
menunggu waktu untuk menyatu lagi, entah kapan.
*Moammar Emka (Dear You)
..............................................................
Setiap baca puisi ini, entah kenapa gua selalu kepengen nangis. Njleb! banget kata-katanya.
![]() |
Ini Bukunya. |
![]() |
Yang tanda warna biru itu letak puisinya. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar