Jumat, 06 Maret 2015

Short Story: Pengamen itu...?




      Aku Masih Dalam Lindungan-Nya
Part 2



..................................................................

Dan aku terlelap.


 Tubuhku terguncang.

 Sesuatu menghantam tubuhku yang mungil.


 Aku dipeluk Bunda. Aku tidak dapat melihat apa-apa.

 Semua orang beristighfar. Beberapa orang berteriak histeris.


 Tetapi mataku masih terpejam. Aku takut. Aku takut untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.


 Tak ada suara. Tetapi aku mencium bau debu. Yang sangat banyak.


 Telingaku seperti pecah. Suara nguing-nguing ambulans begitu memekakkan.


 Tetapi aku masih memejamkan mata.




      Orang-orang mualai berteriak lagi. “disitu masih ada yang hidup.” Lalu “tolong. Anak itu terhimpit.” Lalu “hati-hati, ibu itu sedang hamil. Pelan-pelan. Dia masih bernafas.” Atau “tiga orang itu telah meninggal.”


      Lalu, seluruh badanku serasa digigit ribuan laba-laba dan ditusuk jarum. Terutama dibagian paha kananku. Aku serasa ditarik lalu diulur lagi. Seseorang menggendongku.


      Pandanganku kabur. Cahaya matahari ini terlalu silau.


      Lalu, gelap. Dan aku kembali memejamkan mata, terlelap sebagian dan sadar sebagian yang lain.     



. . . . . . . . . . . . . . . . .   



  “Tulang kakinya retak Dok. Apa kita harus melalukan prosedur operasi?” Suara seorang perempuan.


 “ya Sus. Siapkan semuanya.” Sepertnya, yang dipanggil dengan sebutan Dok menjawabnya.


      Lalu, terdengar suara pintu ditutup dengan halus. –tetapi aku masih bisa mendengarnya-.


      Mataku terasa sangat berat. Kini aku tidak mau melawan untuk tetap sadar. Lalu kupejamkan mataku dalam-dalam. Berharap saat aku membuka mata kembali, aku dan Bunda telah sampai ditempat tujuan. Kami tinggal naik angkutan umum satu kali dan aku akan bertemu Eyang, Ayah, dan mbak Ida.


      Suara air yang menetes membangunkanku. Apakah diluar, sedang gerimis? Oh. Ternyata itu hanya suara cairan infus yang menetes menuju selang yang tertancap dibagian pergelangan tanganku. Sayup-sayup, aku mendengar suara yang sangat familier. Itu suara Ayah. Apa aku sedang berada dirumah Eyang? Dan sedang diinfus dirumah Eyang juga? Tetapi, langit-langit diruangan ini telah menjawabnya. Langit-langin diruangan ini terlalu monoton, dingin, dan terlalu putih. Ada sebuah lampu neon besar yang dapat menerangi keseluruhan ruangan ini. Sedangkan langit-langit diruangan disetiap sudut rumah eyang begitu memancarkan kehangatan, kedamaian, dan bagiku langit-langit itu mempunyai corak titik-titik yang dapat berubah setiap saat sesuai posisiku.


       Beberapa hari kemudian, Ayah membawaku pulang kerumah. Tetapi, selama aku berada dirumah sakit, tidak sekalipun aku berjumpa dengan Bundaku. Bagaimana dengan keadaan Bunda? Pikirku. Aku sendiri tidak diperbolehkan melalukan banyak gerakan pada kaki kananku. Aku pernah melihat bagaimana kondisi luka dikaki kananku. Sebenarnya tidak begitu terlihat menyakitkan. Bentuknya, seperti ada seekor cacing hitam besar yang melekat kuat didalam kulitku sehingga menyebabkan kulit disekitarnya mengkerut mengikuti lekuk cacing itu. Dan cacing itu seperti mempunyai kaki disetiap sisi tubuhnya. Aku berjanji, tidak akan memperlihatkan luka itu kepada siapapun. Karena, waktu itu temanku –Lidya- memaksa ingin melihat luka itu, dan setelah melihatnya ia muntah-muntah dan tidak bisa
 makan selama dua hari. Aku hanya tidak ingin hal itu terulang lagi kepada siapapun.



      Selama seminggu penuh dirumah, aku tidak juga melihat Bundaku. Aku ingin menanyakan hal itu kepada Ayah, tetapi aku enggan. Takut melihat perubahas ekspresi pada Ayahku. 


............................

Selamat membaca :)

Selamat Sore :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar