Selasa, 31 Maret 2015

FanFiction ONE OK ROCK: Salahkah Jika Aku Mencintai-Mu?








 WATASHI WA ANATA TO KOI NI ITARA, SORE GA MACHIGATTE IRU








   “Ibu, apa aku salah jika aku suka sama Taka-kun bu?” Aku pun sebenarnya takut menanyakan masalah ini dengan ibu ku.


Ibu hanya diam. Dia menatapku penuh arti. Aku tak berani menatap kedalam matanya. Jadi, aku hanya terus menunduk memandangi jari-jariku yang meremas ujung baju.


   “Apa aku salah bu? Apa aku tidak normal? Apa ibu akan memarahiku?” Kutanyakan sekali lagi.
Dan Ibu lagi-lagi hanya diam. Bodoh sekali aku ini. Seharusnya aku tidak pernah membicarakan hal ini kepada ibu. Ibu pasti akan sangat terpukul. Seharusnya aku tidak menambah beban ibu lagi. Bagi Ibu, Taka sudah seperti anak sendiri. Dan bagi Ibu, Taka hanya sekedar kakak bagiku. Tapi bagiku? Taka tidak hanya sebatas itu.


   “Jika menurut Ibu itu salah, aku tidak akan melakukannya lagi bu, aku tidak akan menyukai Taka lagi.” Aku benar-benar pasrah. Walaupun ibu bukan tipikal orang yang suka memaksakan kehendak, tapi aku selalu menghormati dan menuruti mau ibu. 


   “Tidak nak, kamu tidak salah. Maafkan ibu. Ibu yang salah.”


Aku terperangah mendengar pengakuan Ibu. Mengapa ibu yang salah? Ini kan sepenuhnya salahku. Salah otakku. Salah hatiku. Salah perasaanku. Mengapa aku harus menyukai Taka? Masih banyak orang yang lebih pantas aku sukai di dunia ini.


   “Tidak bu. Ibu tidak salah. Maafkan aku. Memang benar apa yang orang-orang tuduhkan kepadaku. Aku ini tidak normal. Ibu tidak salah apa-apa.” Aku pun meremas kedua tangan ibuku seolah memberinya kekuatan lebih.


.....................................


Taka adalah kakak angkatku. Walaupun sebenarnya umur kami tidak jauh berbeda. Kami lahir di tahun yang sama. Sebenarnya, Taka adalah anak dari adik teman ibu ku. Adik teman ibuku itu mengalami kecelakaan. Yaitu hamil di luar nikah. Jadi, dia memberikan hak asuh Taka kepada Ibuku yang sangat ia percayai.


Limabelas tahun tinggal serumah, selalu bersama-sama, membuat perasaan ini berkembang lebih jauh. Ya, aku mencintai Taka. Bukan cinta yang sederhana. Melainkan cinta yang sangat rumit. Aku memang belum pernah menyatakan cinta kepadanya. Aku takut. Sangat sangat sangat takut. Aku takut dia meninggalkanku dan benci kepadaku. Bahkan kalau dia sampai dia tidak mau bertemu lagi denganku.


Malam itu, adalah malam kelulusan SMP. Aku dan Taka sempat bersenang-senang menikmati pesta yang diadakan oleh pihak sekolah. Kami berdua layaknya remaja biasa. Bahagia menikmati malam terakhir di SMP. Bersenang senang dengan teman-teman kami yang lainnya. Sampai Taka lupa waktu. Ya, Taka memang bukanlah remaja baik-baik sepertiku. Ia tergolong “nakal”. Tetapi kenakalannya itu tidak mau ia tunjukkan kepada Ibuku maupun Ibunya. Ia selalu membatasi kenakalannya agar jangan sampai diketahui Ibu. Ia sering bolos sekolah demi bermain game di game center. Dan aku yang sellu menutup-nutupi kebolosannya itu. Yah intinya, aku yang harus melindunginya.


Dan malam itu, aku baru tahu jika kenakalannya sudah melampaui batas usianya. Dia mengajakku ke rumah Saburo-kun –Teman SMP kami. Aku kira, kami hanya  makan-makan merayakan kelulusan kami dengan keluarganya. Tetapi mereka “berpesta” Sake. Memang tidaklah terlalu memabukkan. Tetapi cukup membuat anak SMP seperti kami mabuk kepayang.

   “Tolong jangan beritahu ibu ya?” Pintanya ditengah acara.

   “Tetapi...”

   “Tolonglah... Aku janji ini kali pertama dan terakhir aku seperti ini.”

   “Bagaimana caranya?”

   “Kau ikut menginaplah disini bersama ku. Nanti biar aku yang mencari alasan agar kamu juga mendapat izin dari ibu. Ya?”

   “Baiklah...” aku pun pasrah saja.


Kami menginap beramai-ramai di rumah Saburo. Orang tua Saburo sedang pergi keluar kota. Aku, Taka, Saburo, dan keempat teman kami yang lainnya pun beramai-ramai tidur dikamar Saburo. Kami menggelar foton untuk dibagi berdua. Tentu saja aku berbagi foton dengan Taka.


Entah mengapa tiba-tiba desiran dan rasa aneh itu muncul. Saat Taka tidur menghadapku, aku jadi tidak bisa memejamkan mata. Aku terus memandangi wajahnya yang kini hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Akupun dapat merasakan hembusan nafasnya dipipi ku. Oh Tuhan, aku jatuh cinta. 


Semalaman suntuk, aku terus terjaga. Terjaga memandangi wajah Taka. Kebersamaan yang selama ini menyelubungi kami pun menumbuhkan cinta di hatiku. Cinta yang mungkin akan ku sesali, tapi mungkin juga cinta yang akan terus kukenang selamanya. Cinta yang salah. Benar-benar salah.


Setelah peristiwa malam itu, hari-hari kujalani dengan sikap berusaha seperti biasanya. Tetapi sesungguhnya aku salah tingkah setiap kali mataku bertemu pandang dengan mata Taka. 


.............................................................


Separuh hidupku dirundung kekhawatiran dan kegelisahan. Rasa ini tetap ada bahkan sampai saat ini. Walaupun kucoba mengenyahkannnya, menghapusnya, melupakannya, tapi tak akan pernah bisa. Aku mencoba mencari pengganti Taka dihatiku, berpacaran dengan orang yang sekiranya lebih baik dari Taka. Tetapi, tetap saja aku tak akan pernah bisa.


.............................................................


   “Taka-kun?” Sebesar inikah Taka? Seganteng inikah Taka?

   “Hai. Apa kabar?” Sapanya sambil memelukku dengan hanggat –hanya sebatas pelukan antar saudara.

   “Kabar baik. Bagaimana kabar ibumu?” 

   “Baik sekali.”


Saat kami kelas dua SMA, Taka pindah ke Kanada bersama ibunya –Yuriko. Karena Yuriko menikah dengan lelaki Kanada dan ia meminta agar Taka ikut bersamanya. Awalnya, Taka sangat keberatan karena harus berpisah dengan aku dan Ibuku. Setelah mendapat bujukan bertubi-tubi, akhirnya Taka pergi ke Kanada. Selain itu juga karena alasan Taka ingin bersekolah di sekolah musik di Kanada yang kabarnya sangat kompeten di dunia permusikan –Bukan berarti juga di negara kami tidak ada sekolah musik yang sehebat itu.


Sepuluh tahun berlalu, dan ia kembali mengunjungi kami. Membawa kabar bahwa ia akan mengadakan mini konser di negara ini dalam waktu dekat.


Setelah ngobrol ngalor-ngidul membahas bermacam topik, Taka menayakan satu hal kepadaku yang rasanya, sangat mengganggu hatiku.

   “Kamu sudah punya pacar?” Tanyanya.

   “Tidak. Memangnya kenapa?”

   “Tidak papa.” Taka kembali melanjutkan kesibukannya.

   “kamu sendiri sudah punya pacar? Pasti sudah kan?”

   “Tidak. Belum. Memangnya kenapa?” 


Ya Tuhan. Kenapa hatiku merasa begitu senang? Apakah aku harus memberitahu Taka mengenai hal ini? Lagipula, beberapa hari lagi ia harus kembali ke Kanada untuk mengurusi dokumen mini konsernya. Seandainya Taka tidak suka dengan pernyataanku ini, aku akan langsung menghindar darinya.


   “Lho kok diam? Memangnya kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanyanya lagi.

   “Um... Tidak ada. Sudahlah lupakan.” Tidak. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan persaudaraan kami. Tapi, dalam hati kecilku, aku menginginkan Taka.

   “Taka. Boleh aku bertanya sesuatu?” Aku harus memulainya dengan sehalus mungkin. 

Taka yang sedang membaca partitur pun mengalihkan pandangan kearahku. “Silahkan.”

   “Apa aku salah jika aku menyukai kamu?” Aku bersiap-siap untuk lari sejauh mungkin jika apa yang akan Taka ucapkan berupa sebuah penolakan. Aku ini memang benar-benar munafik.

   “Tidak. Tidak salah.” Seulas senyum tersungging di bibir Taka.

Oh Tuhan. Apakah semudah ini mendapatkan jawaban dari Taka? 

   “Kau menyukai ku?” Tanya Taka lagi.

   “Tidak.” 

   “Lalu?” Oh Tuhan, taka nampak sedikit kecewa.

   “Aku.... um, bagaimana aku harus mengungkapkannya? Aku... um.... men...cintaimu.” 

Taka tampak benar-benar terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari bibirku.

   “Oh ya? Sejak kapan?” tanyanya lagi.

   “Lama.” Semudah inikah aku mengeluarkan kata-kata juga?

   “Aku juga mencintaimu.” Jawab Taka. Akhirnya.

Aku benar-benar terkejut kali ini. Taka mengucapkannya begitu ringan tanpa beban.

   “Bagaimana pendapat orang lain mengenai hal ini?” 

   “Aku tidak peduli.”


................................................


Inilah Hari pernikahanku. Menikah di usia 26 tahun bukanlah perkara mudah. Akupun berusaha untuk terus menutup telinga. Seolah tuli akan cemoohan dari semua orang. Tetapi untunglah masih banyak juga yang mendukung keputusan kami untuk meresmikan hubungan kami.

Pernikahan ini bukanlah pernikahan mewah. Hanya upacar pernikahan kecil-kecilan yang dilaksanakan di sebuah gereja kecil didekat rumah kami. Taka begitu mempesona mengenakan Tuxedo berdasi kupu-kupu itu.

Tuxedo itu seharusnya ia kenakan di mini konsernya bulan depan. Tetapi konser itu telah kandas. Karena pernikahan ini, para sponsor mundur. Dan Taka lagi-lagi dengan mudahnya mengambil keputusan untuk membatalkan konsernya. Bahkan semua scedule konsernya. 

Menurut pengakuan Taka, ia mulai merasakan rasa itu –Rasa yang sama seperti yang aku rasakan kepadanya, saat hari kepindahannya ke Kanada. Ia memandangku lama. Rasanya berat untuk meninggalkanku. Bukan sekedar karena aku sudah seperti saudara kandungnya. Tetapi karena alasan lain.
Lonceng gereja berdentang dua kali menandakan aku harus segera memasuki altar. Aku menggandeng tangan pamanku –Yang sebagai wali, memasuki altar. Taka sudah menungguku didepan Pendeta. Ia menyambutku dengan senyuman. 

   “Kamu seharusnya tidak memakai gaun ini. Tetapi kamu sangat cantik hari ini.” Taka membisikkan kata-kata yang membuat pipiku lebih merona. Aku cantik?


Pendeta pun mulai mengucapkan sumpah pernikahan yang akan meresmikan Taka menjadi suamiku. 

   “Saudara Morita Takahiro, apakah kamu bersedia meminang saudara Yamashita menjadi istrimu dalam susah maupun senang selama sisa hidupmu?”

   “Saya bersedia.” Ucap taka tegas.


   “Saudara Yamashita Toru, apakah kamu bersedia meminang saudara Morita menjadi suamimu dalam susah maupun senang selama sisa hidupmu?”

   “Saya bersedia.” Jawabku.


Taka tersenyum kearahku dan menggenggap kedua tanganku. Ia mengecup keningku yang disambut dengan suara-suara menghebohkan dari tamu-tamu yang hadir. Aku pun tersipu malu. Lalu, taka menyapukan bibirnya di bibirku. Yang lagi-lagi diiringi suara menghebohkan.


Aku tanya sekali lagi. Apa aku salah jika aku mencintai Taka?


....................................................


Aaa.... terinspirasi sama kisah Phu & Thee di serial Hormones The series.
Lucu kali ya liat Toru pake dress didampingi Taka yang pake Tuxedo. Haha :D


ENJOY :D

Selamat Siang :D

Minggu, 29 Maret 2015

POEM : Moammar Emka *Dear You*






HARUSKAH KITA SALING MELUPAKAN?




Haruskah kita saling melupakan?


Harus! Kata itu yang pertama terpekik di

pikiranku. Setelah sekian pelukan kita tak

berbuah apa-apa selain kosong hampa.

Setelah genggaman jemari kita yang melekat

erat pada sekian janji yang terucap hanya

menancapkan manis di ujung kecupan.


Haruskah kita saling melupakan?


Mungkin, ini yang terbaik dari sekian pilihan

yang ada. Setelah kemungkinan bertarung

sengit dengan penantian dan kepastian.

Kemungkinan untuk kita bersama yang jauh

dari kata mungkin itu sendiri. Kemungkinan

yang mengingkari kehadirannya untuk terus

(mungkin) ada dan bersama. Kemungkinan

yang berujung pada ketidakmungkinan, tak

berujung dan tiada dalam perjalanannya.



Saling melepaskan, jalan yang kita punya. Terbentang di

hadapan kita sebagai hening yang paling senyap dan kerelaan

untuk pergi tanpa syarat. Melepaskan ikatan ruas demi ruas,

dan melenggang tanpa menengok kebelakang lagi.



Itu saja dulu! Kita sepakat saling melepaskan genggaman

tanpa syarat. Tak peduli kita pernah seia di bawah janji dan

sumpah setia untuk bersama. Bukan apa-apa, kemungkinan

untuk bersama terlalu jauh untuk direngkuh dan hanya akan

meninggalkan sayatan luka mendalam jika diteruskan.




Kita sepakat dan sama-sama sadar untuk melepaskan, dan

seiring dengan waktu, kita saling meupakan, tanpa syarat.

Inilah kemungkinan yang ada, dan paling realistis yang kita

punya.



Haruskah kita saling melupakan?


Kepada hujan kutitipkan pelukan kita yang bersebrangan,

menunggu waktu untuk menyatu lagi, entah kapan.


*Moammar Emka (Dear You)


..............................................................


Setiap baca puisi ini, entah kenapa gua selalu kepengen nangis. Njleb! banget kata-katanya.





Ini Bukunya.






 
Yang tanda warna biru itu letak puisinya.






Jumat, 27 Maret 2015

FanFiction: ONE OK ROCK

 



Where Are You? The Disappeared Boy?




  Mungkin aku sudah menyerah. Tetapi sebenarnya aku belum benar-benar menyerah. Aku harus berusaha. FYI, aku tuh tipikal orang yang keras kepala dan pantang menyerah begitu saja.


............................................


“San-chan, bener kan disekolah Tomo ada orang yang namanya Taka?” Tanyaku kepada sahabatku –Sanae.


“Sayangnya, gak ada Mi. Namanya bukan Takahiro. Tapi, Taka Mori. Lagian juga dia kelas 10. Bukan kelas 11.” 

Aah. Kali ini, aku benar-benar akan putus asa. Kusandarkan kepalaku di sandaran bangku. Kuterawang langit-langit kelasku. Menatapnya seakan-akan aku dapat melihat langit dari sini dengan menembusnya.Sanae pun melakukan hal yang sama. Kedua tangannya ia silangkan diatas dadanya. Ia menghembuskan udara yang sama beratnya dengan yang aku hembuskan.


 “Kamu masih mau nyari dia Mi?” Tanya Sanae tanpa berpaling menatapku.


“Yap.” Aku pun menjawab pertanyaan Sanae tanpa menatapnya juga. Sekarang, saat ini, kami terlihat seperti-mahluk- aneh-yang-menjadi-seorang-siswi-yang-pada-jam-pulang-masih-berada-disekolah-lebih-tepatnya-didalam-kelas-sambil-berbicara-tanpa-saling-tatap-tetapi-malahan-saling-menatap-langit-langit-kelas. Benar-benar aneh.


“Seberapa penting sih Mi dia buat kamu?”


“Seberapa penting?” aku menatap Sanae tak mengerti. Aku pun menegakkan dudukku. Beberapa kali sudah aku jelaskan mengenai hal ini tapi tetap saja Sanae selalu menanyakan pertanyaan yang sama. Dan tak mungkin aku tidak menjawabnya –Walaupun aku sudah bosan menjawab pertanyaan yang hampir ratusan kali dilontarkannya kepadaku.


“Iya. Seberapa penting?” Sanae juga menegakkan tubuhnya dan memandangku. Tangannya ia lipat diatas meja seolah-olah siap mendengarkan penjelasanku.


“Dia itu gak penting buat aku Nae. Tapi, aku cuma pengen tau, dan aku juga pengen ngejelasin ke dia kalo sebenernya ada hal yang menjadi penghalang waktu itu buat aku deket sama dia. Bukan karena aku gak suka deket sama dia.


“Iya aku tau, aku tau. Mungkin waktu itu dia ngehubungin aku bukan pengen deket sama aku. Tapi buat sekedar kenal dan temenan sama aku doang. Iya aku ngerti Nae, tapi yang penting bukan soal perasaan atau maksud dia sama aku. Tapi, aku pengen kenal sama dia lagi.


“Itu salah aku Nae, salah aku. Saat itu aku berusaha sok cuek sama dia. Tapi sekarang aku bener-bener kehilangan dia.”


“Enggak lagi Mi, gak ada yang perlu disalahin. Itu salah takdir. Takdir yang bikin hape kamu ilang. Takdir yang bikin semua hal yang bersangkutan sama hape kamu juga menghilang.” Sanae meremas kedua tanganku.


 Dan dari sorot mata Sanae-lah aku harus belajar untuk menerima semuanya. ‘Ya ini takdir. Gak ada yang perlu disalahin.’


 .....................................


 Lagi-lagi, seusai latihan Karate aku hanya diam terpekur memandangi hape baru ku. Berharap sebuah esemes masuk yang mungkin hanya akan berisi kalimat: Sore Miyuki, Ganbatte-ne.


“Iya, pertandingan basket kemaren tuh yang menang SMP nya Miyuki. Ya kan Mi?”


“He eh.” Jawabku ogah-ogahan.


Beberapa temanku sedang membicarakan mengenai pertandingan basket antar sekolah yang berlangsung kemaren sore. Aku sih tidak tertarik sama-sekali. Selain karena aku tidak bisa main basket, juga karena traumatis terhadap bola basket yang melayang-melayang dari tangan satu ke tangan yang lainnya.


“SMP Ryagami sebenarnya mempunyai peluang yang sangat besar untuk memenangkan pertandingan kemaren. Sayang jagoan mereka mengalami cedera di awal pertandingan. Siapa nama jagoan mereka itu?”

Ah. Basket kan bukan hal terseru di dunia ini. Kenapa juga harus membicarakan basket sih?. Karate kan lebih seru. Contohnya, ngobrolin mengenai siapa karateka pertama yang menyandang sabuk hitam Kyu-1 kek, atau siapa yang nyiptain nama tendangan Mawasi-geri kek, atau apalah itu asal bukan basket.

“Aduh aku lupa. Tak siapa ya? Tak-tak gitu deh namanya.” Temanku yang agak-agak “belok” menimpali. Ya dia emang agak “belok”, tapi karena dia gak mau disangka “belok”, dia memilih jadi karateka. Kata dia sih, biar keren. Tapi kan yang namanya “belok” ya tetep aja “belok”.

Ya, teman-teman ku ini kebanyakan laki-laki. Wajar saja kan? Karena kami sedang latihan Karate. Tapi apa untungnya sih ngomongin basket segala?. Itu kan pertandingan antar-SMP. Mereka kan bukan SMP lagi, tapi mereka sudah SMA. Aduh mereka...


 Karena sudah merasa –Sangat sangat sangat, bosan aku pun beranjak dari tempat dudukku. Lagian aku kan masih SMP dan mereka SMA. Dan aku anak SMP sendirian. Sampai si cowok agak “belok” itu berujar.


“Aaa.. aku ingat. Jagoan mereka itu namanya Takahiro Morita.”


Deg. Jantungku mencelos. ‘Takahiro Morita?’ benarkan? Apa aku salah dengar? Sepertinya tidak.


 

.................................................



“Apa kamu udah yakin kalo Takahiro Morita itu orang yang kamu maksud?” Tanya Toru sambil terus memegangi pagar rumahnya.


“Sepertinya. Tetapi kan Takahiro Morita yang aku maksud bukan anak SMP. Dia bilang kalo dia itu anak SMA. Tapi ya, gak ada salahnya kan mencoba?” Jawabku.


“Yasudah ayo masuk dulu. Tapi kamu jelasin ke aku mengenai masalah kamu ini.” Toru-pun membimbingku masuk kerumahnya.


“Suatu hari, seseorang mengirimiku esemes. Dan dia bilang kalo dia itu Takahiro Morita. Sebenarnya aku juga gak tau siapa itu Takahiro Morita. Dia bercerita banyak hal kepadaku, benar-benar mengasyikkan. Sampai akhirnya handfone ku hilang. Dan saat itu juga aku kehilangan Takahiro Morita-ku juga. Aku sudah mencarinya ke sekolahnya, tetapi Takahiro Morita itu bukan Takahiro Morita yang aku maksud.”


“jadi, kamu minta aku buat memastikan apakah Takahiro Morita yang jago-baske- yang- dimaksud-temanmu-itu, Takahiro Morita-mu atau bukan?”


“Kira-kita begitulah.” Jawabku malu-malu.


Toru memang sahabatku sewaktu SD. Kami bahkan dikira mempunyai hubungan khusus. Dan aku terpaksa meminta bantuannya karena Takahiro yang aku dengar dari sesama karateka itu, Takahiro yang satu sekolahan dengan sahabatku –Toru.


“Hem. Kenapa sih sampe sekarang kamu masih aja nyariin Takahiro itu? Dia gak jelas ada dimana Mi. Mungkin saja waktu itu dia ngarang nama Takahiro yang sebenernya namanya mungkin saja bukan Takahiro.”


“Yah, dia istimewa aja Ru. Dia orang pertama yang ngasih aku puisi. Emang bukan puisi romantis. Tapi itu puisi artinya dalam banget. Aku pengen tau dia lebih banyak, karena dia kayaknya udah tau semuanya tentang aku.”


“Oke, aku coba bantu ya Mi.” Jawab Toru sambil menyodorkan kertas salinan puisi yang tadi ia baca.


“Makasih sebelumnya Ru. Aku tunggu hasilnya.” Jawabku sambil tersenyum puas penuh kelegaan. Semoga saja, ‘Dia’ Takahiro Morita yang selama ini aku maksud.


................................



“Halo Toru?” Selama dua hari ini aku menunggu perkembangan dari Toru mengenai kebenaran Takahiro yang aku maksud di sekolahnya. Dan siang ini aku rasa, dia akan memberiku kabar yang sangat bagus. Tetapi,


“Halo Mi. Maaf, dia bukan Takahiro Morita-mu.” ......................................................



Sial!! Ini bukan sekedar imajinasi aja lho. Ini pengalaman gua. Tapi, cowo itu namanya bukan Takahiro Morita sih... namanya RIZAL ARDIANTO. Kalo penasaran sama puisi yang pernah si Rizal ini kasih ke gua, udah gua publish ko. Di puisinya ada nama penulisnya “Rizal Ardianto”


Hahaha... jujur. Gua masih suka nyari-nyari dia lho. Nyari-nyari keberadaan si Rizal ini.Udah 5tahn yang lalu sih emang. Tapi tetep aja gua kepo sama dia. Karena dia cowo pertama yang ngasih gua puisi.


Bahkan, dia tahu banyak tentang gua. (yang saat itu gua masih kelas 2 SMP dan dia ngakunya kelas 2 SMA.) katanya, kalo gua pulang sekolah bareng temen-temen gua, dia sering liatin gua dari tempat nongkrongannya. Dan katanya juga dia tau banyak hal dari gua karena dia banyak nanya soal gua ke temen-temennya yang notabene temen seangkatan dan se-sekolahan gua waktu SMP.


Sampai kejadian naas itu-pun datang!! Damn. Hape gua ilang!! Gua gak sempet nanya sosmed nya si Rizal apaan. Dan sialnya juga, gua gak nyalin nomor hapenya dia. Bahkan, sampe saat ini gak ada tuh yang namanya Rzal Ardianto lagi di hidup gua. Huuhhuuu... :’( 


Gua sempet nyari-nyari gitu ke temen-temen gua yang udah SMA. Dan salah-satu temen gua bilang kalo emang ada temennya yang namanya Rizal Ardianto –yang gua yakin Rizal yang ngasih gua puisi. Tapi, si Rizal itu katanya udah pindah ke bandung dua hari lalu. Huhuhu... :’( bener gak ya? 


Eits!! Tapi Gua terus berjuang. Dua tahun lalu, temen gua bilang kalo dideket rumahnya ada yang namanya Riza Ardianto yang. Akhirnya gua hubungain lah si Rizal-temen gua itu. Tapi ternyata emang bukan dia si Rizal itu. 


Please dong. RIZAL ARDIANTO. Muncullah!!!!! Masa gua yang harus nyari lu diantara bejibun nama orang RIZAL di duia ini??!! hah!! :@


Lima tahun lu ngebayang-bayangin gua terus!! Lima tahun juga gua timbun rasa penasaran gua tentang lu!! Udah gua baca puisi lu ribuan kali. Sampe gua hafal diluar kepala. Dan sampe tuh kertas lecek-kucel-kumel-banget.


Aaaaarrrrrrrrrrrgh!! Gak ada maksud apa-apa gua nyari lu Rizal!! Cuma pengen aja –tau cowo yang selama ini gua cari.


Haha... jadi sentimen gini dah gua.


.......................................


ENJOY it :D

Selamat Sore :D

Sabtu, 21 Maret 2015

FanFiction: KILL IA KILL (Chap.2)





Seperti Ini-kah??




Main Cast: -Ryuuko mattoi

                -Naichi Suko

                -Nonosuke Hajime


Chapter: 2



............................................



‘Hannouji Academy’ tempat yang sama sekali tidak terbayangkan bahwa aku akan benar-benar bersekolah didalamnya. Walaupun Hannouji termasuk sekolah favorit, tetapi aku tidak memasukkannya kedalam list sekolah yang aku incar.
Tetapi, sekarang, aku ada disini. Di Hannouji Academy. Menjadi bagian darinya. Menjadi salah satu muridnya.


...........................................



Aku dan Naichi merupakan saudara kembar. Tetapi kembar tidak identik. Kami bagaikan pinang yang dibelah, tetapi sebagian belahannya bukan berisi pinang. Naichi itu, cantik, semampai, rambut yang hitam bagus, kontur wajahnya halus, bagaikan tidak ada cacat sedikitpun diwajahnya. Sedangkan aku? Kebalikan dari naichi. Tetapi, mata kami sama. Bulat, dan coklat terang.

Suatu hari, kami diajak Ibu kami ke kuil di lembah gunung Fuji. Seorang pendeta Budha berkata kepada ibu:


  “Wajahnya memang sangat berbeda, sifatnya pun berbeda. Lihatlah, pancaran aura dari mata sang kakak menggambarkan sebuah kewaspadaan dan pembalasan, tetapi juga kelembutan. Sedangkan si kecil ini, matanya memancarkan aura keingintahuan  dan kecerobohan, tetapi juga kelembutan. Kau pasti Ibu yang sangat mengajarkan tata cara kelembutan kepada kedua putrimu ini.”
sedangkan Ibu, ia hanya tersenyum malu-malu penuh arti.
 

Nama panjangku Ryuuko Suko. Setidaknya itu waku aku masih kecil. Suko merupakan nama keluarga pemberian ayahku. Tetapi saat umur kami menginjak 9 tahun, kedua orangtua kami bercerai. Aku lebih memilih untuk tinggal bersama ibu, dan Naichi bersama ayah. Oleh karena itu, nama keluargaku pun berubah menjadi Mattoi sesuai dengan dengan nama keluarga pemberian ibu.
 

Satu bulan yang lalu, Naichi mengunjungi aku dan ibu di perfektur Fukuoka. Memang aku dan ibu tinggal di Fukuoka dirumah Nenek. Ibu dari Ibuku yang meminta kami untuk menemaninya. Rumah nenek sangatlah sederhana. Seperti rumah-rumah kebanyakan didesa. Tetepi, halaman rumahnya begitu luas. Sehingga aku dapat menanam apa saja yang aku inginkan dihalaman depan.


 “Ryuu, aku mengunjungimu karena aku ingin meminta bantuanmu.”
 

Naichi mengajakku berjalanjalan meyusuri sungai tempat dulu kita sering mencari ikan bersama-sama saat berkunjung dirumah nenek.


 “Bantuan apa? Jika aku bisa membantu, aku pasti akan membantumu.” Jawabku sambil menerawang jauh kedalam aliran air sungai.“Kau pasti bisa membantuku. Sekarang bersiap-siaplah. Kau akan pindah ke Tokyo beberapa hari lagi.”
“Pindah ke Tokyo? Apa maksudnya? Aku hanya ingin membantumu. Bukan ingin pindah ke Tokyo.”
“Ada sebuah permasalahan di sekolahku di Tokyo. Sangat pelik. Kau harus membantuku. Aku harus sesegera mungkin menyelesaikannya.” Naichi terlihat begitu gusar.“Tidak!! Jika itu menyangkut dengan pertukaran tempat seperti dulu. Aku benar-benar tidak mau.” Aku berjalan mendahului naichi yang tertinggal dibelakang.
 

Waktu itu, kita sama-sama berumur dua belas tahun. Naichi memintaku untuk menggantikannya disaat hari pekan olahraga sekolah. Dia ditunjuk oleh guru kelasnya untuk mewakili kelas sebagai peserta dalam lomba lari antar kelas. Sebagai seorang adik, aku pun menyanggupinya. Yaah... yang namanya juga sifat kami berbeda dalam banyak hal, sesampainya pulang dirumah, Ayah pun langsung mengetahuinya dan mengembalikanku ke Fukuoka dan menjemput Naichi juga. Memang sih, aku –atau Naichi menang dalam lomba lari itu dan menjadi juara kelas dengan perolehan medali terbanyak. Tapi, sesampainya di Fukuoka, ternyata Naichi juga sedang dimarahi oleh Ibu dan Nenek. Ya... jadilah kita berdua dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tua kami. Hehe,


 “Tidak... bukan hal yang seperti itu Ryuu, ini benar-benar sungguh menyusahkan. Tolonglah..” Naichi mengejarku dan memohon kepadaku.“Bukankah kamu bisa menyelesaikan sendiri masalahmu?” Tolakku.“Tidak. Tidak lagi.”“Jika seperti ini, bagaimana bisa kau menjadi sosok seorang kakak buatku? Bagaimana kau bisa menjadi dewasa?” Tidak bisa kutahan lagi emosiku. Aku pun menaikkan suaraku beberapa oktaf seraya setengah membentaknya.“Baiklah jika kau tidak bisa membantuku, tak apa. Aku akan pulang sekarang juga.” Naichi berjalan berbalik arah kembali kerumah Nenek. 



Dulu, saat aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa orangtua kami bercerai, Naichi yang membantuku. Saat aku merengek meminta dibelikan boneka juga oleh Ibu, Naichi dengan senang hati memberikanku boneka yang baru ia dapatkan dari Ayah. Mungkin sebaiknya aku memang harus membantunya. Akupun tidak tega membiarkan kakakku sendiri kesusahan seperti itu.
Aku pun mengejarnya. “Baiklah, aku akan membantumu. Tapi, atas izin Ibu. Maafkan aku jika Ibu tidak memberi izin.” Kataku akhirnya.
“Baiklah...” Seulas senyum tersungging dibibir Naichi. Aku pun ikut tersenyum juga.
 

Akhirnya, kami berdua meneruskan berjalan-jalan dipinggir sungai sambil bercerita mengenai masa kecil kami yang beitu menyenangkan dan menggelikan. Bahkan sekali-sekali, Naichi menggodaku dan mendorongku. Aku pun berbalik dan mendorongnya juga sampai kami berdua berguling-gulingan di rumput yang tanahnya landai. Sampai senja berubah menjadi hitam. Kelam.


 .......................................................... 



Akhirnya, kami sampai dipemberhentian terakhir. Yaitu stasiun Tokyo. Tiga tahun yang lalu, terakhir kali aku berkunjung dikota ini. Dan lihatlah, betapa berbedanya Tokyo dimataku hanya dalam jangka waktu tiga tahun saja. 



Dari stasiun Tokyo, kita berdua harus menaiki bus sebanyak dua kali dan kembali berjalan ntuk sampai di apartemen tempat Naichi tinggal. –Ya, Naichi tinggal di apartemen. Dia tinggal sendiri. Ayah kami sedang ada tugas pekerjaan di Korea Utara. Sudah lebih dari dua tahun yang lalu, Naichi tinggal sendiri. Kenapa Naichi tidak tinggal bersama aku dan Ibu? Naichi sendiri tidak mau tinggal di Fukuoka. Alasannya, ia tidak mau berpisah dengan kota tempat dimana dia dilahirkan. Haha, klasik. Karena tidak mungkin naichi tinggal di rumah kami, menempatinya seorang diri, maka Ayah memutuskan agar Naichi tinggal saja di apartemen. Sedangkan rumah kami sendiri? Tentu saja disewakan. Beberapa bulan sekali Ayah meyempatkan dirinya pulang ke Tokyo dan mampir ke Fukuoka. Yah, memang orangtua kami sudah bercerai. Tapi itu tidak dapat memutuskan hubungan yang pernah ada di keluarga kami.




 “Naichi. Masih jauh ya?”“Sebentar lagi.” Ujarnya sambil terus menyeret koperku. 



Akupun terdiam dan kembali berjalan mensejajari langkah Naichi. Naichi tidak terlihat begitu kerepotan. Padahal ia membawa tas punggungnya sendiri dan koperku, belum lagi dia juga menenteng beberapa kantong plastik berisi keperluan-keperluan mandiku yang sempat kami beli di toko sesaat setelah kami turun dari bus.


 

Apartemen Naichi tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Komplek apartemennya sendiri hanya berupa gedung dengan sepuluh tingkat saja. Dapat dikatakan, letaknya bukan berada di keramaian Tokyo. Tapi bagiku, ini sungguh melegakan. Dengan jarak yang lumayan jauh ini, aku bisa kerasan –seperti di Fukuoka rasanya.



 “Silahkan masuk.” Naichi membuka pintu apartemennya yang ternyata tidak dikunci sama sekali.“Terimakasih. Apakah sudah biasanya apartemenmu tidak dikunci?” Tanyaku spontan setelah menjejakkan kaki beberapa langkah kedalamnya.


 

Apartemennya bersih. Tertata sangat rapih. Bahkan didalamnya, ada dapur juga. Sedari kecil, kami berdua memang mempunyai kebiasaan dan adat yang sangat berbeda. Contohnya, kerapihan dan kebersihan ini. Jika apartemen ini milikku, tidak kurang dalam waktu sehari saja, sudah sangat berantakan –sangat sangat sangat berantakan.


 “Ya. Begitulah. Itu kebiasaanku sekarang. Toh penghuni sekitar juga tidak ada yang mengetahuinya.” Jawab Naichi santai. “Apa kau tidak merasakan khawatir? Apa kau pernah kehilangan sesuatu?” tanyaku lagi sembari meletakkan koper-koperku didepan kamar Naichi.“Kabar baiknya, belum.” Jawab Naichi lagi. “Nih, minum dulu.” Naichi menyodorkan segelas penuh air dingin.




 Dan akupun meminumnya sampai habis. 



Sebenarnya, Honnouji Academy bukanlah sekolah yang sangat diharap-harapkan oleh Naichi. Ia lebih suka bersekolah di Sajasyoku Senior High School. Hal itu terjadi karena Ayah kami sangat menginginkan salah satu dari kami dapat menjadi penerusnya. Dulu, Ayah kami merupakan  lulusan Honnouji. Dan ia adalah satu dari tiga lulusan terbaik tahun itu. Oleh karena itu, ia sangat ingin Naichi juga seperti dirinya. Karena aku tidak akan mungkin masuk ke Honnouji. Ayah tahu itu.


 ..............................................




 “Naichi dan Satsuki dahulunya teman satu SMP.” Kata Nonosuke. 



Nonosuke. Siswa 11.9B. Atas saran Mako –Sahabatku di Honnouji, akhirnya aku berteman dengan Nosuke. Nonosuke lebih akrab dipanggil Nosuke –begitulah. Nosuke merupakan salah satu dari daftar sepuluh orang yang paling dijauhi di Honnouji. Dapat ditebak, Nosuke hampir tidak mempunyai teman. Ia terdaftar sebagai anggota Club Membaca, yang sehari-harinya sepulang sekolah berkutat lagi dengan bermacam-macam buku. Nosuke sangat tidak dapat mengontrol emosinya. Dan ia akan mengeluarkan kata apa saja yang ada dibenaknya dengan semena-mena tanpa mempedulikan orang di sekitarnya –bahkan orang yang diajaknya bicara. Oleh karena itu, kita harus sangat berhati-hati jika ingin mengetahui bermacam-macam informasi darinya.


 “Mereka bahkan bersahabat. Sahabat yang sangat dekat.” Katanya lagi. 



Ya, dulu –dulu sekali, Naichi pernah menceritakan padaku bahwa ia mempunyai seorang sahabat yang bahkan dapat dikatakan telah menggantikan posisiku sebagai saudara kembarnya. Tetapi aku sungguh tidak pernah tahu siapa nama sahabat yang dimaksudkan Naichi itu.


 “Entah karena apa, mereka berdua bermusuhan sampai sekarang.“Menurut rumor yang beredar, mereka berdua sempat menyukai seorang anak laki-laki yang sama. Laki-laki itu adalah ketua dari tim basket. Namanya Yosauro Konari. Mereka berdua pun saling bertukar cerita. Naichi kira, Satsuki tidak akan menyukai Yosaburo. Dan Satsuki kira, naichi juga tidak akan menyukai  Yosaburo. Akhirnya, terciptalah bendera perang diantara mereka. Semenjak hari itu, mereka berdua pun saling berjauh-jauhan.“Mereka berdua saling merebut perhatian dan simpati Yosaburo. Namun pada akhirnya, Yosaburo berpacaran dengan Naichi. Satsuki sangat kesal dan dapat dipastikan, peperangan pun semakin memanas.“Honnouji Academy merupakan sekolah keluarga Satsuki. Awalnya, Naichi tidak mau masuk sekolah ini. Tapi karena ayahya sudah terlanjur mendaftarkannya di Honnouji, dengan berat hati naichi pun mulai bersekolah di Honnouji.“Tidak disangka, peperangan mereka pun semakin memanas. Ibarat Naichi diserang singa dikandang Singa. Tadinya, Naichi menduduki peringkat teratas sepuluh orang yang paling dijauhi di Honnouji.
 


“Darimana kau tahu semua informasi itu? Sampai endetail-detailnya?” Tanyaku menahan emosi. Bukan emosi karena Nosuke, tetap lebih kepada apa yang diceritakan Nosuke kepadaku.
“Itu semua sudah menjadi rahasia umum Ryuu.” Ujarnya lebih lembut. Sepertinya, Nosuke mengetahui arti kilat mataku yang emosi ini. Akupun kembali menguasai diri.“Lalu, bisakah kau ceritakan mengenai laki-laki yang menjadi rebutan antara Satsuki dan Naichi lebih detailnya lagi?” Aku berusaha memperbaiki letak dudukku. 



Suasana kedai hari ini tidak begitu ramai seperti biasanya. Tiga mangkuk bekas ramen teronggok begitu saja dipinggir meja. Satu mangkukku, dan dua lagi mangkuk Nosuke. Aku maklum, jika melihat postur tubuh  Nosuke, memang sudah sepantasnya ia menghabiskan dua mangkuk ramen sekaligus. 


“Besok aku ceritakan lagi yang lainnya. Aku harus pulang. Terimakasih atas ramennya hari ini. Sayōnara.” Nosuke segera bergegas pergi mengayuh sepedanya setelah ia mendapatkan telepon –yang aku kira dari Ibunya.


 ............................................................




 “Naichi tidak mempunyai teman di Honnouji.”

-Ya, aku tahu. Aku sudah mendengarnya sendiri dari Naichi.


“Tahun pertama ia di Honnouji, ia mengajukan diri menjadi kandidat ketua osis melawan Naichi dan beberapa orang lainnya. Tetapi ia kalah dalam tahap pertama. Yang kabarnya, sudah di manipulasi hasil oleh Satsuki.”
 

-Benarkah? Naichi tidak pernah menceritakannya kepadaku.


“beberapa kali juga, Satsuki mengajak naichi untuk bergabung menjadi anggota osis. Tetapi Naichi menolaknya mentah-mentah. Hal itu menambah amarah Satsuki. Dan karena itu, Satsuki memasukkan Naichi kedalam daftar sepuluh siswa yang paling dijauhi di Honnouji.” “Kabarnya, naichi pernah dikerjai habis-habisan saat ia piket sehabis pulang sekolah oleh The Elite Four. Kabarnya juga, itu atas perintah Satsuki. Sehingga selama hampir dua minggu lebih, Naichi tidak masuk sekolah.”

-Satsuki sangat keterlaluan.




 “Kau tahu Ryuu?? Kau mempunyai mata yang mirip dengan mata Naichi. Aku dengar juga Naichi mempunyai saudara kembar di Fukuoka.” 



Untuk pertanyaan Nosuke tadi, aku cepat-cepat menggelengkan kepala mengelaknya.
 

Satsuki sudah sangat-sangat keterlaluan. Aku tidak akan menceritakan kepada Naichi mengenai hal ini. Atau jangan-jangan, yang memasukkan buku bergambar Satsuki kedalam tas Naichi itu Satsuki sendiri? Agar Satsuki dapat dengan mudah mengeluarkan Naichi dari Honnouji? Ah. Aku tidak tahu. Terlalu cepat untuk menarik sebuah kesimpulan. 



Aku pun menggeram pelan. Menahan emosi yang mulai berkumpul didalam dadaku.


 .......................................................


 “Apa aku harus memakai baju ini juga?” Tanyaku sejenak sambil terus memandangi dress kuning cerah bermotif bunga bunga dandelion ditepiannya ini. “Potongan bahunya terlalu lebar untuk ukuran bahuku. Dan kenapa harus ada renda-rendanya? Kau ingin aku bergaya loly? Kenapa tidak mengajakku ke Harajuku saja?” Aku mencoba terus protes untuk tidak memakai baju ini. 



Semalam, aku dan Naichi sudah memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan ini dengan berjalan-jalan ke Tokyo Tower dan mengunjungi rumah kami.
 


“Ah kamu ini Ryuu. Cerewet tau! Ayolah Ryuu... kau akan sangat cantik jika memakai dress itu.” Lagi-lagi Naichi mencoba membujukku. 



Aku pun hanya bisa memajukan sedikit ujung bibirku dan memakai dress itu.


 “Kau sangat cantik. Bagaimana kalau kita wujudkan ucapanmu barusan?  Minggu depan kita ke Harajuku yuk? ” Puji Naichi saat aku masuk kedalam kamarnya. 



Astaga!! Ternyata Naichi juga memakai dress yang sama dengan yang aku pakai. Dan ia sangat cantik dengan rambut yang disanggul kebelakang menampilkan leher jenjangnya. Beberapa helai rambut turun membentuk tirai transparan di kulit lehernya. 


“Ryuu, cobalah memakai make-up. Aku dandani ya?” Tangan Naichi sudah siap sedia dengan beberapa peralatan maku-up yag siap menyapu wajahku. 



Akupun menurut saja. Aku terkesima. Aku belum pernah melihat kakaku secantik ini. Beberapa pikiran yang akhir-akhir ini melandaku tiba-tiba saja datang berkecamuk. Aku tidak habis pikir,


 .................................................. 



Kami segera mengantri didepan lift untuk naik mencapai puncak Tokyo Tower. Saat ini, Toko Tower merupakan menara paling tinggi di dunia.

Sesampainya dipuncak, aku mendekatkan pandanganku untuk menembus kaca melihat pemandangan menakjubkan yang sekali lagi menghipnotisku. Beberapa kali kami sekeluarga juga pernah berkunjung ke sini. Tapi kali ini rasa menakjubkan itu berbeda. Aku seperti merasakan dejavû saat sebuah keluarga melintas didepanku.


 “Ryuuko. Lihatlah ke sebelah sini.” Panggil Naichi sambil menunjuk kesebuah tempat.“Itu rumah kita.” Ujarku takjub. Sambil mengarahkan pandang kearah yang ditunjuk Naichi. 



Saat kami berdua tengah asyik bercerita, “Ryuuko. Naichi.”, Seseorang menepuk pundak kami berdua bersamaan. Aku kaget. Ada rasa paranoid yang berkelebat dibenakku. 



Aku memandang Naichi meminta persetujuan. Dan aku mendapati Mako tengah berdiri didepan kami dengan senyuman lebarnya yang penuh rasa ingin tahu.



........................................................


Be Enjoy :D


Selamat sore :)