Selasa, 31 Maret 2015
Minggu, 29 Maret 2015
POEM : Moammar Emka *Dear You*
HARUSKAH KITA SALING MELUPAKAN?
Haruskah kita saling melupakan?
Harus! Kata itu yang pertama terpekik di
pikiranku. Setelah sekian pelukan kita tak
berbuah apa-apa selain kosong hampa.
Setelah genggaman jemari kita yang melekat
erat pada sekian janji yang terucap hanya
menancapkan manis di ujung kecupan.
Haruskah kita saling melupakan?
Mungkin, ini yang terbaik dari sekian pilihan
yang ada. Setelah kemungkinan bertarung
sengit dengan penantian dan kepastian.
Kemungkinan untuk kita bersama yang jauh
dari kata mungkin itu sendiri. Kemungkinan
yang mengingkari kehadirannya untuk terus
(mungkin) ada dan bersama. Kemungkinan
yang berujung pada ketidakmungkinan, tak
berujung dan tiada dalam perjalanannya.
Saling melepaskan, jalan yang kita punya.
Terbentang di
hadapan kita sebagai hening yang paling senyap
dan kerelaan
untuk pergi tanpa syarat. Melepaskan ikatan
ruas demi ruas,
dan melenggang tanpa menengok kebelakang lagi.
Itu saja dulu! Kita sepakat saling melepaskan
genggaman
tanpa syarat. Tak peduli kita pernah seia di
bawah janji dan
sumpah setia untuk bersama. Bukan apa-apa,
kemungkinan
untuk bersama terlalu jauh untuk direngkuh dan
hanya akan
meninggalkan sayatan luka mendalam jika
diteruskan.
Kita sepakat dan sama-sama sadar untuk
melepaskan, dan
seiring dengan waktu, kita saling meupakan,
tanpa syarat.
Inilah kemungkinan yang ada, dan paling
realistis yang kita
punya.
Haruskah kita saling melupakan?
Kepada hujan kutitipkan pelukan kita yang
bersebrangan,
menunggu waktu untuk menyatu lagi, entah kapan.
*Moammar Emka (Dear You)
..............................................................
Setiap baca puisi ini, entah kenapa gua selalu kepengen nangis. Njleb! banget kata-katanya.
![]() |
Ini Bukunya. |
![]() |
Yang tanda warna biru itu letak puisinya. |
Jumat, 27 Maret 2015
FanFiction: ONE OK ROCK
Where Are You? The
Disappeared Boy?
Mungkin aku sudah menyerah. Tetapi sebenarnya
aku belum benar-benar menyerah. Aku harus berusaha. FYI, aku tuh tipikal orang
yang keras kepala dan pantang menyerah begitu saja.
Where Are You? The
Disappeared Boy?
............................................
“San-chan, bener kan disekolah Tomo ada orang
yang namanya Taka?” Tanyaku kepada sahabatku –Sanae.
“Sayangnya, gak ada Mi. Namanya bukan
Takahiro. Tapi, Taka Mori. Lagian juga dia kelas 10. Bukan kelas 11.”
Aah. Kali ini, aku benar-benar akan putus asa. Kusandarkan kepalaku di sandaran bangku. Kuterawang langit-langit kelasku. Menatapnya seakan-akan aku dapat melihat langit dari sini dengan menembusnya.Sanae pun melakukan hal yang sama. Kedua tangannya ia silangkan diatas dadanya. Ia menghembuskan udara yang sama beratnya dengan yang aku hembuskan.
“Kamu masih mau nyari dia Mi?” Tanya Sanae
tanpa berpaling menatapku.
“Yap.” Aku pun menjawab pertanyaan Sanae tanpa
menatapnya juga. Sekarang, saat ini, kami terlihat seperti-mahluk-
aneh-yang-menjadi-seorang-siswi-yang-pada-jam-pulang-masih-berada-disekolah-lebih-tepatnya-didalam-kelas-sambil-berbicara-tanpa-saling-tatap-tetapi-malahan-saling-menatap-langit-langit-kelas.
Benar-benar aneh.
“Seberapa penting sih Mi dia buat kamu?”
“Seberapa penting?” aku menatap Sanae tak
mengerti. Aku pun menegakkan dudukku. Beberapa kali sudah aku jelaskan mengenai
hal ini tapi tetap saja Sanae selalu menanyakan pertanyaan yang sama. Dan tak
mungkin aku tidak menjawabnya –Walaupun aku sudah bosan menjawab pertanyaan
yang hampir ratusan kali dilontarkannya kepadaku.
“Iya. Seberapa penting?” Sanae juga menegakkan
tubuhnya dan memandangku. Tangannya ia lipat diatas meja seolah-olah siap
mendengarkan penjelasanku.
“Dia itu gak penting buat aku Nae. Tapi, aku cuma
pengen tau, dan aku juga pengen ngejelasin ke dia kalo sebenernya ada hal yang
menjadi penghalang waktu itu buat aku deket sama dia. Bukan karena aku gak suka
deket sama dia.
“Iya aku tau, aku tau. Mungkin waktu itu dia
ngehubungin aku bukan pengen deket sama aku. Tapi buat sekedar kenal dan
temenan sama aku doang. Iya aku ngerti Nae, tapi yang penting bukan soal
perasaan atau maksud dia sama aku. Tapi, aku pengen kenal sama dia lagi.
“Itu salah aku Nae, salah aku. Saat itu aku
berusaha sok cuek sama dia. Tapi sekarang aku bener-bener kehilangan dia.”
“Enggak lagi Mi, gak ada yang perlu disalahin.
Itu salah takdir. Takdir yang bikin hape kamu ilang. Takdir yang bikin semua
hal yang bersangkutan sama hape kamu juga menghilang.” Sanae meremas kedua
tanganku.
Dan dari sorot mata Sanae-lah aku harus
belajar untuk menerima semuanya. ‘Ya ini takdir. Gak ada yang perlu disalahin.’
.....................................
Lagi-lagi, seusai latihan Karate aku hanya
diam terpekur memandangi hape baru ku. Berharap sebuah esemes masuk yang
mungkin hanya akan berisi kalimat: Sore Miyuki, Ganbatte-ne.
“Iya, pertandingan basket kemaren tuh yang
menang SMP nya Miyuki. Ya kan Mi?”
“He eh.” Jawabku ogah-ogahan.
Beberapa temanku sedang membicarakan mengenai
pertandingan basket antar sekolah yang berlangsung kemaren sore. Aku sih tidak
tertarik sama-sekali. Selain karena aku tidak bisa main basket, juga karena
traumatis terhadap bola basket yang melayang-melayang dari tangan satu ke
tangan yang lainnya.
“SMP Ryagami sebenarnya mempunyai peluang yang
sangat besar untuk memenangkan pertandingan kemaren. Sayang jagoan mereka
mengalami cedera di awal pertandingan. Siapa nama jagoan mereka itu?”
Ah. Basket kan bukan hal terseru di dunia ini.
Kenapa juga harus membicarakan basket sih?. Karate kan lebih seru. Contohnya,
ngobrolin mengenai siapa karateka pertama yang menyandang sabuk hitam Kyu-1
kek, atau siapa yang nyiptain nama tendangan Mawasi-geri kek, atau apalah itu
asal bukan basket.
“Aduh aku lupa. Tak siapa ya? Tak-tak gitu deh
namanya.” Temanku yang agak-agak “belok” menimpali. Ya dia emang agak “belok”,
tapi karena dia gak mau disangka “belok”, dia memilih jadi karateka. Kata dia
sih, biar keren. Tapi kan yang namanya “belok” ya tetep aja “belok”.
Ya, teman-teman ku ini kebanyakan laki-laki. Wajar saja kan? Karena kami sedang latihan Karate. Tapi apa untungnya sih ngomongin basket segala?. Itu kan pertandingan antar-SMP. Mereka kan bukan SMP lagi, tapi mereka sudah SMA. Aduh mereka...
Karena sudah merasa –Sangat sangat sangat,
bosan aku pun beranjak dari tempat dudukku. Lagian aku kan masih SMP dan mereka
SMA. Dan aku anak SMP sendirian. Sampai si cowok agak “belok” itu berujar.
“Aaa.. aku ingat. Jagoan mereka itu namanya
Takahiro Morita.”
Deg. Jantungku mencelos. ‘Takahiro Morita?’
benarkan? Apa aku salah dengar? Sepertinya tidak.
.................................................
“Apa kamu udah yakin kalo Takahiro Morita itu
orang yang kamu maksud?” Tanya Toru sambil terus memegangi pagar rumahnya.
“Sepertinya. Tetapi kan Takahiro Morita yang
aku maksud bukan anak SMP. Dia bilang kalo dia itu anak SMA. Tapi ya, gak ada
salahnya kan mencoba?” Jawabku.
“Yasudah ayo masuk dulu. Tapi kamu jelasin ke
aku mengenai masalah kamu ini.” Toru-pun membimbingku masuk kerumahnya.
“Suatu hari, seseorang mengirimiku esemes. Dan
dia bilang kalo dia itu Takahiro Morita. Sebenarnya aku juga gak tau siapa itu
Takahiro Morita. Dia bercerita banyak hal kepadaku, benar-benar mengasyikkan.
Sampai akhirnya handfone ku hilang. Dan saat itu juga aku kehilangan Takahiro
Morita-ku juga. Aku sudah mencarinya ke sekolahnya, tetapi Takahiro Morita itu
bukan Takahiro Morita yang aku maksud.”
“jadi, kamu minta aku buat memastikan apakah
Takahiro Morita yang jago-baske- yang- dimaksud-temanmu-itu, Takahiro Morita-mu
atau bukan?”
“Kira-kita begitulah.” Jawabku malu-malu.
Toru memang sahabatku sewaktu SD. Kami bahkan
dikira mempunyai hubungan khusus. Dan aku terpaksa meminta bantuannya karena
Takahiro yang aku dengar dari sesama karateka itu, Takahiro yang satu sekolahan
dengan sahabatku –Toru.
“Hem. Kenapa sih sampe sekarang kamu masih aja
nyariin Takahiro itu? Dia gak jelas ada dimana Mi. Mungkin saja waktu itu dia
ngarang nama Takahiro yang sebenernya namanya mungkin saja bukan Takahiro.”
“Yah, dia istimewa aja Ru. Dia orang pertama
yang ngasih aku puisi. Emang bukan puisi romantis. Tapi itu puisi artinya dalam
banget. Aku pengen tau dia lebih banyak, karena dia kayaknya udah tau semuanya
tentang aku.”
“Oke, aku coba bantu ya Mi.” Jawab Toru sambil
menyodorkan kertas salinan puisi yang tadi ia baca.
“Makasih sebelumnya Ru. Aku tunggu hasilnya.”
Jawabku sambil tersenyum puas penuh kelegaan. Semoga saja, ‘Dia’ Takahiro
Morita yang selama ini aku maksud.
................................
“Halo Toru?” Selama dua hari ini aku menunggu
perkembangan dari Toru mengenai kebenaran Takahiro yang aku maksud di
sekolahnya. Dan siang ini aku rasa, dia akan memberiku kabar yang sangat bagus.
Tetapi,
“Halo Mi. Maaf, dia bukan Takahiro Morita-mu.” ......................................................
Sial!! Ini bukan sekedar imajinasi aja lho.
Ini pengalaman gua. Tapi, cowo itu namanya bukan Takahiro Morita sih... namanya
RIZAL ARDIANTO. Kalo penasaran sama puisi yang pernah si Rizal ini kasih ke
gua, udah gua publish ko. Di puisinya ada nama penulisnya “Rizal Ardianto”
Hahaha... jujur. Gua masih suka nyari-nyari
dia lho. Nyari-nyari keberadaan si Rizal ini.Udah 5tahn yang lalu sih emang. Tapi tetep aja
gua kepo sama dia. Karena dia cowo pertama yang ngasih gua puisi.
Bahkan, dia tahu banyak tentang gua. (yang
saat itu gua masih kelas 2 SMP dan dia ngakunya kelas 2 SMA.) katanya, kalo gua
pulang sekolah bareng temen-temen gua, dia sering liatin gua dari tempat nongkrongannya.
Dan katanya juga dia tau banyak hal dari gua karena dia banyak nanya soal gua
ke temen-temennya yang notabene temen seangkatan dan se-sekolahan gua waktu
SMP.
Sampai kejadian naas itu-pun datang!! Damn.
Hape gua ilang!! Gua gak sempet nanya sosmed nya si Rizal apaan. Dan sialnya
juga, gua gak nyalin nomor hapenya dia. Bahkan, sampe saat ini gak ada tuh yang
namanya Rzal Ardianto lagi di hidup gua. Huuhhuuu... :’(
Gua sempet nyari-nyari gitu ke temen-temen gua
yang udah SMA. Dan salah-satu temen gua bilang kalo emang ada temennya yang
namanya Rizal Ardianto –yang gua yakin Rizal yang ngasih gua puisi. Tapi, si Rizal
itu katanya udah pindah ke bandung dua hari lalu. Huhuhu... :’( bener gak ya?
Eits!! Tapi Gua terus berjuang. Dua tahun
lalu, temen gua bilang kalo dideket rumahnya ada yang namanya Riza Ardianto
yang. Akhirnya gua hubungain lah si Rizal-temen gua itu. Tapi ternyata emang
bukan dia si Rizal itu.
Please dong. RIZAL ARDIANTO. Muncullah!!!!! Masa gua yang harus nyari lu diantara bejibun nama orang RIZAL di duia ini??!! hah!! :@
Lima tahun lu ngebayang-bayangin gua terus!!
Lima tahun juga gua timbun rasa penasaran gua tentang lu!! Udah gua baca puisi
lu ribuan kali. Sampe gua hafal diluar kepala. Dan sampe tuh kertas
lecek-kucel-kumel-banget.
Aaaaarrrrrrrrrrrgh!! Gak ada maksud apa-apa
gua nyari lu Rizal!! Cuma pengen aja –tau cowo yang selama ini gua cari.
Haha... jadi sentimen gini dah gua.
.......................................
ENJOY it :D
Selamat Sore :D
Sabtu, 21 Maret 2015
FanFiction: KILL IA KILL (Chap.2)
Seperti Ini-kah??
Main Cast: -Ryuuko mattoi
-Naichi Suko
-Nonosuke Hajime
Chapter: 2
............................................
‘Hannouji Academy’ tempat
yang sama sekali
tidak terbayangkan bahwa aku akan benar-benar bersekolah didalamnya. Walaupun
Hannouji termasuk sekolah favorit, tetapi aku tidak
memasukkannya kedalam list sekolah yang aku incar.
Tetapi, sekarang, aku ada disini. Di Hannouji
Academy. Menjadi bagian darinya. Menjadi salah satu muridnya.
...........................................
Aku dan Naichi merupakan
saudara kembar. Tetapi kembar tidak identik. Kami bagaikan pinang yang dibelah,
tetapi sebagian belahannya bukan berisi pinang. Naichi itu, cantik, semampai,
rambut yang hitam bagus, kontur wajahnya halus, bagaikan tidak ada cacat
sedikitpun diwajahnya. Sedangkan aku? Kebalikan dari naichi. Tetapi, mata kami
sama. Bulat, dan coklat terang.
Suatu hari, kami diajak Ibu kami ke kuil di lembah gunung Fuji. Seorang pendeta Budha berkata kepada ibu:
“Wajahnya memang sangat berbeda, sifatnya pun
berbeda. Lihatlah, pancaran aura dari mata sang kakak menggambarkan sebuah
kewaspadaan dan pembalasan, tetapi juga kelembutan. Sedangkan si kecil ini,
matanya memancarkan aura keingintahuan
dan kecerobohan, tetapi juga kelembutan. Kau pasti Ibu yang sangat
mengajarkan tata cara kelembutan kepada kedua putrimu ini.”
sedangkan Ibu, ia hanya tersenyum malu-malu penuh arti.
Nama panjangku Ryuuko
Suko. Setidaknya itu waku aku masih kecil. Suko merupakan nama keluarga
pemberian ayahku. Tetapi saat umur kami menginjak 9 tahun, kedua orangtua kami
bercerai. Aku lebih memilih untuk tinggal bersama ibu, dan Naichi bersama ayah.
Oleh karena itu, nama keluargaku pun berubah menjadi Mattoi sesuai dengan
dengan nama keluarga pemberian ibu.
Satu bulan yang lalu, Naichi mengunjungi aku dan ibu di perfektur Fukuoka. Memang aku dan ibu tinggal di Fukuoka dirumah Nenek. Ibu dari Ibuku yang meminta kami untuk menemaninya. Rumah nenek sangatlah sederhana. Seperti rumah-rumah kebanyakan didesa. Tetepi, halaman rumahnya begitu luas. Sehingga aku dapat menanam apa saja yang aku inginkan dihalaman depan.
“Ryuu, aku mengunjungimu karena aku ingin
meminta bantuanmu.”
Naichi mengajakku berjalanjalan meyusuri sungai tempat dulu kita sering mencari ikan bersama-sama saat berkunjung dirumah nenek.
“Bantuan apa? Jika aku bisa membantu, aku
pasti akan membantumu.” Jawabku sambil menerawang jauh kedalam aliran air
sungai.“Kau
pasti bisa membantuku. Sekarang bersiap-siaplah. Kau akan pindah ke Tokyo beberapa
hari lagi.”
“Pindah ke Tokyo? Apa maksudnya? Aku hanya ingin membantumu. Bukan ingin pindah
ke Tokyo.”
“Ada sebuah permasalahan di sekolahku di
Tokyo. Sangat pelik. Kau harus membantuku. Aku harus sesegera mungkin
menyelesaikannya.” Naichi terlihat begitu gusar.“Tidak!! Jika itu menyangkut dengan
pertukaran tempat seperti dulu. Aku benar-benar tidak mau.” Aku berjalan mendahului
naichi yang tertinggal dibelakang.
Waktu itu, kita sama-sama berumur dua belas tahun. Naichi memintaku untuk menggantikannya disaat hari pekan olahraga sekolah. Dia ditunjuk oleh guru kelasnya untuk mewakili kelas sebagai peserta dalam lomba lari antar kelas. Sebagai seorang adik, aku pun menyanggupinya. Yaah... yang namanya juga sifat kami berbeda dalam banyak hal, sesampainya pulang dirumah, Ayah pun langsung mengetahuinya dan mengembalikanku ke Fukuoka dan menjemput Naichi juga. Memang sih, aku –atau Naichi menang dalam lomba lari itu dan menjadi juara kelas dengan perolehan medali terbanyak. Tapi, sesampainya di Fukuoka, ternyata Naichi juga sedang dimarahi oleh Ibu dan Nenek. Ya... jadilah kita berdua dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tua kami. Hehe,
“Tidak... bukan hal yang seperti itu Ryuu,
ini benar-benar sungguh menyusahkan. Tolonglah..” Naichi mengejarku dan memohon
kepadaku.“Bukankah kamu bisa menyelesaikan sendiri
masalahmu?” Tolakku.“Tidak. Tidak lagi.”“Jika seperti ini, bagaimana bisa kau menjadi
sosok seorang kakak buatku? Bagaimana kau bisa menjadi dewasa?” Tidak bisa
kutahan lagi emosiku. Aku pun menaikkan suaraku beberapa oktaf seraya setengah
membentaknya.“Baiklah jika kau tidak bisa membantuku, tak
apa. Aku akan pulang sekarang juga.” Naichi berjalan berbalik arah kembali
kerumah Nenek.
Dulu, saat aku masih belum
bisa menerima kenyataan bahwa orangtua kami bercerai, Naichi yang membantuku.
Saat aku merengek meminta dibelikan boneka juga oleh Ibu, Naichi dengan senang
hati memberikanku boneka yang baru ia dapatkan dari Ayah. Mungkin sebaiknya aku memang harus membantunya. Akupun tidak tega
membiarkan kakakku sendiri kesusahan seperti itu.
Aku pun mengejarnya. “Baiklah, aku akan
membantumu. Tapi, atas izin Ibu. Maafkan aku jika Ibu tidak memberi izin.”
Kataku akhirnya.
“Baiklah...” Seulas senyum tersungging dibibir
Naichi. Aku pun ikut tersenyum juga.
Akhirnya, kami berdua meneruskan berjalan-jalan dipinggir sungai sambil bercerita mengenai masa kecil kami yang beitu menyenangkan dan menggelikan. Bahkan sekali-sekali, Naichi menggodaku dan mendorongku. Aku pun berbalik dan mendorongnya juga sampai kami berdua berguling-gulingan di rumput yang tanahnya landai. Sampai senja berubah menjadi hitam. Kelam.
..........................................................
Akhirnya, kami sampai
dipemberhentian terakhir. Yaitu stasiun Tokyo. Tiga tahun yang lalu, terakhir
kali aku berkunjung dikota ini. Dan lihatlah, betapa berbedanya Tokyo dimataku
hanya dalam jangka waktu tiga tahun saja.
Dari stasiun Tokyo, kita berdua harus menaiki bus sebanyak dua kali dan kembali berjalan ntuk sampai di apartemen tempat Naichi tinggal. –Ya, Naichi tinggal di apartemen. Dia tinggal sendiri. Ayah kami sedang ada tugas pekerjaan di Korea Utara. Sudah lebih dari dua tahun yang lalu, Naichi tinggal sendiri. Kenapa Naichi tidak tinggal bersama aku dan Ibu? Naichi sendiri tidak mau tinggal di Fukuoka. Alasannya, ia tidak mau berpisah dengan kota tempat dimana dia dilahirkan. Haha, klasik. Karena tidak mungkin naichi tinggal di rumah kami, menempatinya seorang diri, maka Ayah memutuskan agar Naichi tinggal saja di apartemen. Sedangkan rumah kami sendiri? Tentu saja disewakan. Beberapa bulan sekali Ayah meyempatkan dirinya pulang ke Tokyo dan mampir ke Fukuoka. Yah, memang orangtua kami sudah bercerai. Tapi itu tidak dapat memutuskan hubungan yang pernah ada di keluarga kami.
“Naichi. Masih jauh ya?”“Sebentar lagi.” Ujarnya sambil terus
menyeret koperku.
Akupun terdiam dan kembali berjalan mensejajari langkah Naichi. Naichi tidak terlihat begitu kerepotan. Padahal ia membawa tas punggungnya sendiri dan koperku, belum lagi dia juga menenteng beberapa kantong plastik berisi keperluan-keperluan mandiku yang sempat kami beli di toko sesaat setelah kami turun dari bus.
Apartemen Naichi tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Komplek apartemennya sendiri hanya berupa gedung dengan sepuluh tingkat saja. Dapat dikatakan, letaknya bukan berada di keramaian Tokyo. Tapi bagiku, ini sungguh melegakan. Dengan jarak yang lumayan jauh ini, aku bisa kerasan –seperti di Fukuoka rasanya.
“Silahkan masuk.” Naichi membuka pintu
apartemennya yang ternyata tidak dikunci sama sekali.“Terimakasih. Apakah sudah biasanya
apartemenmu tidak dikunci?” Tanyaku spontan setelah menjejakkan kaki beberapa
langkah kedalamnya.
Apartemennya bersih. Tertata sangat rapih. Bahkan didalamnya, ada dapur juga. Sedari kecil, kami berdua memang mempunyai kebiasaan dan adat yang sangat berbeda. Contohnya, kerapihan dan kebersihan ini. Jika apartemen ini milikku, tidak kurang dalam waktu sehari saja, sudah sangat berantakan –sangat sangat sangat berantakan.
“Ya. Begitulah. Itu kebiasaanku sekarang. Toh
penghuni sekitar juga tidak ada yang mengetahuinya.” Jawab Naichi santai. “Apa kau
tidak merasakan khawatir? Apa kau pernah kehilangan sesuatu?” tanyaku lagi
sembari meletakkan koper-koperku didepan kamar Naichi.“Kabar baiknya, belum.” Jawab Naichi lagi.
“Nih, minum dulu.” Naichi menyodorkan segelas penuh air dingin.
Dan akupun meminumnya sampai habis.
Sebenarnya, Honnouji Academy bukanlah sekolah yang sangat diharap-harapkan oleh Naichi. Ia lebih suka bersekolah di Sajasyoku Senior High School. Hal itu terjadi karena Ayah kami sangat menginginkan salah satu dari kami dapat menjadi penerusnya. Dulu, Ayah kami merupakan lulusan Honnouji. Dan ia adalah satu dari tiga lulusan terbaik tahun itu. Oleh karena itu, ia sangat ingin Naichi juga seperti dirinya. Karena aku tidak akan mungkin masuk ke Honnouji. Ayah tahu itu.
..............................................
“Naichi dan Satsuki dahulunya teman satu
SMP.” Kata Nonosuke.
Nonosuke. Siswa 11.9B. Atas saran Mako –Sahabatku di Honnouji, akhirnya aku berteman dengan Nosuke. Nonosuke lebih akrab dipanggil Nosuke –begitulah. Nosuke merupakan salah satu dari daftar sepuluh orang yang paling dijauhi di Honnouji. Dapat ditebak, Nosuke hampir tidak mempunyai teman. Ia terdaftar sebagai anggota Club Membaca, yang sehari-harinya sepulang sekolah berkutat lagi dengan bermacam-macam buku. Nosuke sangat tidak dapat mengontrol emosinya. Dan ia akan mengeluarkan kata apa saja yang ada dibenaknya dengan semena-mena tanpa mempedulikan orang di sekitarnya –bahkan orang yang diajaknya bicara. Oleh karena itu, kita harus sangat berhati-hati jika ingin mengetahui bermacam-macam informasi darinya.
“Mereka bahkan bersahabat. Sahabat yang
sangat dekat.” Katanya lagi.
Ya, dulu –dulu sekali, Naichi pernah menceritakan padaku bahwa ia mempunyai seorang sahabat yang bahkan dapat dikatakan telah menggantikan posisiku sebagai saudara kembarnya. Tetapi aku sungguh tidak pernah tahu siapa nama sahabat yang dimaksudkan Naichi itu.
“Entah karena apa, mereka berdua bermusuhan
sampai sekarang.“Menurut rumor yang beredar, mereka berdua
sempat menyukai seorang anak laki-laki yang sama. Laki-laki itu adalah ketua
dari tim basket. Namanya Yosauro Konari. Mereka berdua pun saling bertukar
cerita. Naichi kira, Satsuki tidak akan menyukai Yosaburo. Dan Satsuki kira,
naichi juga tidak akan menyukai Yosaburo.
Akhirnya, terciptalah bendera perang diantara mereka. Semenjak hari itu, mereka
berdua pun saling berjauh-jauhan.“Mereka berdua saling merebut perhatian dan
simpati Yosaburo. Namun pada akhirnya, Yosaburo berpacaran dengan Naichi.
Satsuki sangat kesal dan dapat dipastikan, peperangan pun semakin memanas.“Honnouji Academy merupakan sekolah keluarga
Satsuki. Awalnya, Naichi tidak mau masuk sekolah ini. Tapi karena ayahya sudah
terlanjur mendaftarkannya di Honnouji, dengan berat hati naichi pun mulai
bersekolah di Honnouji.“Tidak disangka, peperangan mereka pun
semakin memanas. Ibarat Naichi diserang singa dikandang Singa. Tadinya, Naichi
menduduki peringkat teratas sepuluh orang yang paling dijauhi di Honnouji.”
“Darimana kau tahu semua informasi itu?
Sampai endetail-detailnya?” Tanyaku menahan emosi. Bukan emosi karena Nosuke,
tetap lebih kepada apa yang diceritakan Nosuke kepadaku.
“Itu semua sudah menjadi rahasia umum Ryuu.”
Ujarnya lebih lembut. Sepertinya, Nosuke mengetahui arti kilat mataku yang
emosi ini. Akupun kembali menguasai diri.“Lalu, bisakah kau ceritakan mengenai
laki-laki yang menjadi rebutan antara Satsuki dan Naichi lebih detailnya lagi?”
Aku berusaha memperbaiki letak dudukku.
Suasana kedai hari ini tidak begitu ramai seperti biasanya. Tiga mangkuk bekas ramen teronggok begitu saja dipinggir meja. Satu mangkukku, dan dua lagi mangkuk Nosuke. Aku maklum, jika melihat postur tubuh Nosuke, memang sudah sepantasnya ia menghabiskan dua mangkuk ramen sekaligus.
“Besok aku ceritakan lagi yang lainnya. Aku
harus pulang. Terimakasih atas ramennya hari ini. Sayōnara.”
Nosuke segera bergegas pergi mengayuh sepedanya setelah ia mendapatkan telepon
–yang aku kira dari Ibunya.
............................................................
“Naichi tidak mempunyai teman di Honnouji.”
-Ya, aku tahu. Aku sudah mendengarnya sendiri dari Naichi.
“Tahun pertama ia di Honnouji, ia mengajukan
diri menjadi kandidat ketua osis melawan Naichi dan beberapa orang lainnya.
Tetapi ia kalah dalam tahap pertama. Yang kabarnya, sudah di manipulasi hasil
oleh Satsuki.”
-Benarkah? Naichi tidak pernah menceritakannya kepadaku.
“beberapa kali juga, Satsuki mengajak naichi
untuk bergabung menjadi anggota osis. Tetapi Naichi menolaknya mentah-mentah.
Hal itu menambah amarah Satsuki. Dan karena itu, Satsuki memasukkan Naichi
kedalam daftar sepuluh siswa yang paling dijauhi di Honnouji.” “Kabarnya, naichi pernah dikerjai
habis-habisan saat ia piket sehabis pulang sekolah oleh The Elite Four.
Kabarnya juga, itu atas perintah Satsuki. Sehingga selama hampir dua minggu
lebih, Naichi tidak masuk sekolah.”
-Satsuki sangat keterlaluan.
“Kau tahu Ryuu?? Kau mempunyai mata yang
mirip dengan mata Naichi. Aku dengar juga Naichi mempunyai saudara kembar di
Fukuoka.”
Untuk pertanyaan Nosuke
tadi, aku cepat-cepat menggelengkan kepala mengelaknya.
Satsuki sudah sangat-sangat keterlaluan. Aku tidak akan menceritakan
kepada Naichi mengenai hal ini. Atau jangan-jangan, yang memasukkan buku
bergambar Satsuki kedalam tas Naichi itu Satsuki sendiri? Agar Satsuki dapat
dengan mudah mengeluarkan Naichi dari Honnouji? Ah. Aku tidak tahu. Terlalu
cepat untuk menarik sebuah kesimpulan.
Aku pun menggeram pelan. Menahan emosi yang mulai berkumpul didalam dadaku.
.......................................................
“Apa aku harus memakai baju ini juga?”
Tanyaku sejenak sambil terus memandangi dress kuning cerah bermotif bunga bunga
dandelion ditepiannya ini. “Potongan bahunya terlalu lebar untuk ukuran
bahuku. Dan kenapa harus ada renda-rendanya? Kau ingin aku bergaya loly? Kenapa
tidak mengajakku ke Harajuku saja?” Aku mencoba terus protes untuk tidak memakai
baju ini.
Semalam, aku dan Naichi
sudah memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan ini dengan berjalan-jalan ke
Tokyo Tower dan mengunjungi rumah kami.
“Ah kamu ini Ryuu. Cerewet tau! Ayolah
Ryuu... kau akan sangat cantik jika memakai dress itu.” Lagi-lagi Naichi
mencoba membujukku.
Aku pun hanya bisa memajukan sedikit ujung bibirku dan memakai dress itu.
“Kau sangat cantik. Bagaimana kalau kita
wujudkan ucapanmu barusan? Minggu depan
kita ke Harajuku yuk? ” Puji Naichi saat aku masuk kedalam kamarnya.
Astaga!! Ternyata Naichi juga memakai dress yang sama dengan yang aku pakai. Dan ia sangat cantik dengan rambut yang disanggul kebelakang menampilkan leher jenjangnya. Beberapa helai rambut turun membentuk tirai transparan di kulit lehernya.
“Ryuu, cobalah memakai make-up. Aku dandani
ya?” Tangan Naichi sudah siap sedia dengan beberapa peralatan maku-up yag siap
menyapu wajahku.
Akupun menurut saja. Aku terkesima. Aku belum pernah melihat kakaku secantik ini. Beberapa pikiran yang akhir-akhir ini melandaku tiba-tiba saja datang berkecamuk. Aku tidak habis pikir,
..................................................
Kami segera mengantri
didepan lift untuk naik mencapai puncak Tokyo Tower. Saat ini, Toko Tower
merupakan menara paling tinggi di dunia.
Sesampainya dipuncak, aku mendekatkan pandanganku untuk menembus kaca melihat pemandangan menakjubkan yang sekali lagi menghipnotisku. Beberapa kali kami sekeluarga juga pernah berkunjung ke sini. Tapi kali ini rasa menakjubkan itu berbeda. Aku seperti merasakan dejavû saat sebuah keluarga melintas didepanku.
“Ryuuko. Lihatlah ke sebelah sini.” Panggil Naichi sambil menunjuk
kesebuah tempat.“Itu rumah kita.” Ujarku takjub. Sambil mengarahkan pandang kearah
yang ditunjuk Naichi.
Saat kami berdua tengah asyik bercerita,
“Ryuuko. Naichi.”, Seseorang menepuk pundak kami berdua bersamaan. Aku kaget.
Ada rasa paranoid yang berkelebat dibenakku.
Aku memandang Naichi meminta persetujuan. Dan aku mendapati Mako tengah berdiri didepan kami dengan senyuman lebarnya yang penuh rasa ingin tahu.
........................................................
Be Enjoy :D
Selamat sore :)
Langganan:
Postingan (Atom)