Sabtu, 21 November 2015

ShortStory : Who is Phsyco



ME OR HER?


     Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk menghentikan perilaku anak saya. Anak saya sudah sangat tidak terkendali. Dia begitu antusias melihat kekacauan yang terjadi di sekelilingnya dan dia sangat senang melihat penderitaan yang orang lain alami.



     Awalnya saya menganggap hal itu biasa saja. Sampai saya ingat kejadian yang hampir saja mencelakai saya beberapa tahun silam. Kejadian yang membuat mata dan hati saya terbuka. Bahwa segala sesuatunya tidak seindah yang kita harapkan.



     Saya berkenalan dengan Indira di kampus. Kami pernah satu kelas sewaktu masih semester satu. Indira adalah mantan istri saya dulu. Sekarang saya tidak tahu Indira berada dimana dan kejadian apa yang menimpa dia. Karena saya pikir, sekarang saya sudah mempunyai keluarga baru yang tidak seperti keluarga saya yang dulu. Tetapi pada kenyataannya, sosok Indira kembali hadir di kehidupan saya. Bukan karena saya masih mencintai Indira, tetapi Indira sudah seperti bayang-bayang kegelapan yang ada di tembok kamar saya setiap saya tidur dimalam hari.



     Indira merupakan perempuan yang cantik. Bahkan, yang paling cantik diantara satu angkatan. Indira dan saya menjalin hubungan pacaran tiga bulan sebelum akhirnya kami memutuskan untuk meresmikan hubungan kami.



     Di tahun-tahun awal pernikahan kami, semuanya masih baik-baik saja. Menurut saya, Indira adalah istri idaman saya. Sampai akhirnya kami mempunyai seorang putri, saya fikir semuanya baik-baik saja.



     Malam itu, suara telpon mengagetkan saya yang tertidur dimeja kantor karena saya sedang kerja lembur malam itu.



“Halo, dengan saudara Pambudi?”


“Ya, dengan saya sendiri. Maaf ini siapa?”



     Ternyata, itu telpone dari kepolisian. Mereka menjelaskan bahwa Indira sedang berada di kantor polisi. Saya sendiri bingung mengapa Indira berada di kantor polisi. Semua dugaan berkecamuk di fikiran saya. Saya hanya mencoba untuk berfikiran positif.



     Sesampainya di kantor polisi, saya lebih terkejut lagi melihat Indira. Di pakainnya benyak sekali noda darah. Saya pun hanya bisa memeluk Indira sembari menenangkan diri saya sendiri.



     Menurut keterangan pihak kepolisian, Indira telah membunuh seorang perampok yang akan merampok rumah kami berdua. Indira melakukannya sebagai bentuk pertahanan diri. Maka yang menjadi korban disini adalah Indira. Dia hanya berstatus sebagai korban sekaligus saksi.



     Dua minggu setelah perkara tersebut selesai dan semuanya berjalan normal kembali, Indira menceritakan sesuatu yang membuat saya kaget setangah mati. Dia menceritakan urutan kronologis sebenarnya kejadian malam itu. Dia berkata bahwa sebenarnya malam itu ia tidak bisa tidur karena saya sedang kerja lembur. Maka dia pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Dia mendengan suara pintu yang berderit pelan. Pintu rumah kami memang tidak selalu terkunci, karena saya malam itu sedang kerja lembur yang kebetulan tidak membawa serep kunci rumah. Oleh karena itu Indira tetap berada di dapur. Entah karena sial atau karena hal lain, perampok tersebut pergi ke dapur dan tidak sengaja menabrak Indira. Refleks, Indira menusukkan pisau yang ada di tangannya.



      Saya pun kaget akan cerita Indira yang sebenarnya ini. Karena apa yang diceritakan Indira dalam forum pengadilan, tidak seperti ini. Beberapa kejanggalan seperti menggelitik fikiran saya. Seperti, mengapa saat indira mendengar pintu rumah berderit, Indira tidak lantas mengeceknya ke depan? Mengapa Indira justru hanya diam di dapur seolah menunggu? Dan, sejak kapan Indira menggenggam pisau di tangannya? Untuk apa Indira menggenggam pisau di tangannya?



     Dan satu perkataan Indira yang langsung membuat saya memutuskan untuk menceraikan Indira. Yaitu, dia dengan saintainya berkata “saya kira itu papah yang pulang.” Seolah-olah tujuan utama Indira adalah membunuh saya.



     Saya tidak habis pikir kenapa Indira mau membunuh saya. Setahu saya, saya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Proses perceraian pun berjalan alot. Indira tidak serta merta begitu saja mengalah kepada saya. Hak asuh putri kami pun menjadi persoalan yang begitu diperumit. Jalan tengah satu-satunya yaitu kami berganti-gantian mengasuh putri kami.



     Dan beginilah akhirnya, entah apa yang telah diajarkan Indira kepada putri kami. Saya ingin Indira pergi sejauh mungkin dari kehidupan keluarga kecil kami. Dan saya pun memunyai cara agar Indira tidak akan pernah menemui putri kecil kami lagi. Yaitu dengan membunuhnya. Mungkin ide gila itu akan tetap ada di fikiran saya. Tetapi, mungkin bisa jadi akan keluar dari kepala saya dan menjadi sebuah perbuatan.
 



...............................................................................
 


Whooooo..... mungkin gak ya di dunia nyata ada kejadian yang kaya gini?


Tadinya gua mau bikin endingnya itu cuma sampe si suami menceraikan Indira. Tapi entah kenapa waktu ditulis lagi, endingnya jadi kaya gini. He he he


Enjoy gaes... :D


Selamat Sore 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar