Senin, 30 Juni 2014

Short Story : Sequel Of Life


ARPHA DAN DESHA 
part 1


Main Cast : * Aku ~ Desya
                  * Arpha
                  * Rasyid
Genre : Friendship







Anggap saja settingnya diatas balkon dan pemandangan dibawahnya seperti ini.


.................................................................


Aku berteriak dan diapun berteriak.


“Setelah ini, apa yang akan kau perbuat? Apa kau akan membunuhku juga?”
“Tidak!! Jadi tolonglah berhenti berteriak dan menganggap bahwa aku seorang pembunuh!” Nafasnya tersnggal-senggal.
“Lalu kau seprang apa? Penyelaman? Pahlawan? Cih. Pahlawan kesiangan.” Aku menatapnya dengan tatapan penuh rasa jijk.
“Bukan salahku jika semua itu terjadi. Itu semua kehendak Tuhan. Lalu aku harus apa? Kembali ke masa lalu dan mencegah Rasyid melalukan itu?” Ia mendekatkan mukanya kearahku.


Aku mendorongnya.


“Setidaknya kau pernah berusaha!” Nada tinggi keluar lagi dari mulutku.
“Lalu salah siapa jika ia berdiri ditengah jalan menghadang truk itu?”
“Salahmu!!” Kutunjuk mukanya dengan penuh kebencian.
“Huuuuuh!!!” Ia membalikkan badan dan menatap langit terbuka. Ia terlihat sedang menerawang jauh.


Aku terdiam melihat rambutnya yang panjang diterpa angin malam ini. Tetapi sang angin tidak bisa membawa kekesalannku terhadapnya pergi. Kami telah bertengkar lebih dari dua jam yang lalu dan sampai sekarang belum ada yang mau mengakhirinya.


“Bukan salahku.” Dengan penuh ketenangan, ia kembali membuka suara setelah beberapa saat diam.
“Lalu salah siapa?!” Aku masih saja melontarkan  kata-kata itu dengan nada sinis.
“Takdir”
“Takdir kau bilang? Takdir? Jadi rasyid mati itu takdir? Dan kau tidak menolongnya ataupun mencegahnya, itu takdir juga?”
“Cukup Sya. Hentikan” Ia menutup telinga “Sampai kapan kau akan menyalahkanku?”
“Sampai kau sadar bahwa kau memang salah!” Aku memalingkan wajahku darinya.
“Oke. Aku mengaku salah!” Ia memegang kedua pundakku.
“Semua itu tidak akan mengembalikan Rasyid lagi.” Aku mulai menangis.
Ia memelukku. “Aku pengganti Rasyid”
“Tidak bisa. Kau sahabatku dan akan tetap menjadi sahabatku. Lagian, kau itu perempuan.”
Ia tergelak. “Haha. Bodoh.” Senyum itu keluar dari bibirnya walau hanya sedikit.




............................................................



Aku teringat kembali malam itu.


“Kenapa harus ada Tuhan didunia ini?” Aku menatap Rasyid lekat-lekat
“Karena harus ada yang dipercayai.”
“Kita bisa percaya sesuatu tanpa Tuhan.”
“Tapi itu bukan sebuah keyakinan.” Ia menjawabnya sambil tetap membaca buku yang terlihat sangat menarik.
“Lalu, keyakinan itu menurutmu seperti apa?” Alisku bertaut.
“Yakin jika hal itu ada walaupun kita tidak bisa melihatnya.” Rasyid menjawabnya dengan sangat tenang seolah-olah semua jawaban dari pertanyaanku ada didalam buku yang sedang ia baca.
“Selain Tuhan, apa yang kau yakini?”
“Dunia.”
“Itu bukan sebuah keyakinan. Kau dapat melihat dunia ini.” Aku berargument.
“Aku hanya bisa melihatnya sebagian. Bukan seluruhnya.”
“Tapi kau bisa melihatnya dipeta. Atau, kau menjadi astronot saja kalu begitu.” Aku sedikit melontarkan candaan untuk mencairkan suasana.
“ya. Tapi itu berbeda.” Ia membetulkan letak kacamatanya “Lalu kau sendiri apa yang kau yakini selain Tuhan?”
“Cinta”
“Kenapa” Ia menyesap kembali air putih dicangkirnya yang tidak lagi hangat.
“Karena ia tidak bisa dilihat.”
“..??” Ia mengerutkan kening.
“Aku dapat merasakannya karena aku meyakininya walaupun ia tidak terlihat”
“haha.”


Ia seperti mengejek apa yang aku yakini. Aku menatap ekspresi dengan terbengong-bengong. 


"Apa kau tidak yakin akan cinta?
"Percaya. tapi tidak meyakininya."
"Why?"
"Karena cinta tak perlu untuk diyakini." Ia menjawab dengan entengnya.
"Ooh." Kuusap-usap embun yang menempel dipinggiran gelas minumanku "Apa kau pernah jatuh cinta?"
"Tentu."
"Kapan?" Aku mulai tertarik dengan alur pembicaraan ini.
"Sekarang." Lagi-lagi dengan begitu entengnya ia menjawab setiap pertanyaan yang aku lontarkan.
"Who?"
"Temanmu."
"Temanku banyak Syid" Aku membuat lingkaran dengan tanganku diudara diatas kepalaku.
 "Arpha."
"Ar??" Aku terkejut.
"Ya."
"Oh." Aku mulai mulai malas untuk meneruskan pembicaraan malam ini. 


Aku menerawang jalan fikiranku sendiri. Kini Rasyid diam karena akupun diam. Ia meneruskan berkutat dengan bukunya itu. Kuamati rasyid dan bertanya kepada diriku sendiri 'Sebenarnya apa yang membuatku mencintainya?' Rasyid bukan tipe cowok yang disukai kalangan wanita. Kaca mata tebal selalu menempel ditulang hidungnya. Aku tak pernah tau jika ia bisa mempunyai suatu perasaan lebih kepada Arpha sahabatku sendiri. Hatiku benar-benar menangis melihat sorot binar matanya saat menyebut nama sahabatku itu. Aku kira, saat ia menolongku mengerjakan tugas kuliah karena ia memang memperhatikanku dan menyukaiku. Tapi kini ternyata semua itu salah. Ia hanya ingin merebut hati Arpha. Tetapi Arpha, gadis itu hatinya terlalu beku. Terlalu sulit untung mengetahui dan melihat apa yang sedang ia rasakan sekarang. 


.........................................................


Aku melepaskan pelukannya. Ia menyodorkan sekotak tissu kepadaku.

 

"Satu jam yang lalu dan dua jam yang lalupun kau menangis juga." Ia masuk kedalam dan duduk disofa membelakangi balkon tempat kami bertengkar.
"Diiiaaaaaamlah." Aku mengusap mataku yang sembab. Terselip rasa malu karena telah menangis didepan Arpha.
"Aku tidak tau jika Rasyid akan melakukan hal sebodoh itu." Ia menengok kebelakang berusaha melihat apa yang sedang aku lakukan.
"Heeeeem." Aku berdehem panjang dan menghampirinya untuk duduk disampingnya.
"Dia itu termasuk mahasiswa yang pintar. Setahuku, dia itu intelek. Karena cinta, cinta yang membuat nyawanya melayang dan ia yang menyianyiakannya sendiri." Nada bicara Arpha seolah-olah sedang mengejek Rasyid.
"Karena kau bodoh." Aku hanya bercanda saat mengatakan kata bodoh untuknya. lalu kutinju lengannya dan kudorong badannya kesamping.
"Kalau aku bodoh, kenapa kau memarahi sahabatmu sendiri demi laki-laki seperti belalang itu?" Ia memainkan kedua alisnya keatas dan kebawah sambil tersenyum jahil.
"Belalang kau bilang?"
"Ya. Kurus, kering, mata besar."
"Tapi semuanya ada disini dan disini" Aku menunjuk jidat dan dadaku secara bergantian.
"Oooooh. Hahaha" Ia berdiri dan menyalakan televisi yang ada didepan kami "Ummm. Kau mau menginap disini?"
"Tidak ada pilihan lain." Aku mengangkat kedua bahuku.


Hening beberapa saat. 


"Bagimu, kehidupan itu seperti apa Ar??" Aku menatap kedalam matanya.
"Kau tahu? seperti batu. Keras" Ia meninju-ninjukan tangannya ketelapak tangannya yang lain.
"Tapi itu hanya terlihat seperti batu. Jika kau melawannya, semuanya akan terasa mudah. sekeras apapun batu,jika dilawan maka lama-kelamaan akan pecah juga Ar."
"Tidak segampang itu yang aku alami."
"Lalu?" Aku mengalihkan pandanganku dari sorot matanya.
"Apa kau pernah merasakan kehidupanku itu seperti apa?"
"Tidak."
"Tentu tidak. Karena kau Desya dan Aku arpha. Desya menjalani kehidupannya sebagai Desya. Dan aku menjalani kehidupanku sebagai Arpha."
Aku hanya memicingkan mata.
"Kau tidak tahu masa-masa kelamku dan betapa susahnya aku menjalani dan mempertahankan hidup sebelum aku mengenalmu. Dan bagaimana kehidupanku disaat aku bahagia."
Aku menggeleng.
"Sudahlah... Kau mau secangkir kopi? Biar aku buatkan." 


Kita berdua saling melempar senyum. Dan saat Arpha menatap kedalam mataku, dan sebaliknya. Aku menerka bagaimana jika Desya hidup sebagai Arpha. Dan aku tidak akan membayangkan hal itu terjadi.

 


.....................................................


Butuh kritik dan sarannya. Thanks :D
Selamat siang :)



Rabu, 25 Juni 2014

POEM [Puisi1]

                    Tidak Bisa Dipungkiri

Tidak ada yang benar-benar sama didunia ini
Hanya sebuah bayangan semu yang menirunya 
Membuatmu kalap dan kebingngan
Menusukkan tombak agar kau terjatuh 
Lalu membangkitkanmu lagi dan menjadikanmu budak 
Membawamu kealam baka yang menyakitkan 
Kau tak dapat lagi berteriak 
Yang ia dengar hanyalah bisingnya cicitanmu itu 
Ia mencari uang sebagai upahmu bekerja 
Ia memotong-motongmu dan menggerogotimu 
Lalu kau hanya sisa-sisa tulang yang dikerubungi lalat 
Terkubur dihalaman belakang rumahnya
Kau tak sendiri. Banyak yang bernasib sama sepertimu 
Seperti si tukang ojek, si pengangguran, si kuli, bahkan si bos
Mereka mencercamu. Anehnya, kau mencerca mereka juga 
"Hei!!" si pengangguran berteriak menunjuk kearahmu
Dari atas, sebuah tombak akan menusukmu lagi 
Dengan panik, tanganmu mengibas-ngibaskan kepalamu 
Mereka, temanmu, menertawaimu 
Jangan kau ingkari. Mereka semua bernasib sama sepertimu 
Jangan marah. Karena kau tak sendiri 
Seorang anak kecil meraih tangan buntungmu 
Ia temanmu yang baru. Kau harus menjaganya 
Si tukang kredit merayumu . "Tolonglah, jaga ia demi ibunya. Kau akan mendapatkan imbalan" 
"Tentunya sebuah tangan baru." si kuli menambahkan 
Kau merasa dunia ini tak adil? Tentulah adil bagi orang yang berkuasa 
Lalu kau berfikir untuk kembali ke masa lalumu? 
Tidak bisa. Kau telah terjebak 
Kurungan ini tidak akan terbuka dengan sendirinya ataupun dengan penyesalan 
Satu-satunya yang bisa kau lakukan hanyalah 
Menerimanya dan kembali berkhayal 


.................................................................... 


Entahlah. bisa disebut sebagai "poem" atau enggak.
kalo ada yang sepemikiran sama gua, pasti nyantol isi itu tulisan yang absurd apaan :P
huuuft. udh lama gak ngepost. wkwk *soksibuk*
Selamat malam :D